RASIONALITAS SYARIAT ISLAM
Oleh: Muchtar Luthfi
“Tsamarotul aqli luzuumul haqqi”; Hasil (mengikuti) akal adalah komitmen pada kebenaran. (Ali bin Abi Thalib as)
“Science without religion is lame, raligion without science is blind”; Ilmu pengetahuan tanpa agama niscaya lumpuh, agama tanpa ilmu pengetahuan akan buta. (Albert Einstein)
Salah satu isu penting dalam diskursus Filsafat Agama adalah relasi agama dan rasio. Jika kita mengurut kronologi isu ini, akan kita dapati betapa peliknya para rohaniawan Kristen pada Abad Pertengahan dalam mempertahankan dogma-dogma agama yang banyak tidak sesuai dengan interpretasi akal dan ilmu pengetahuan[1]. Sehingga dari situ, muncullah beberapa pemikiran para intelektual yang ingin mengkritisi dogma-dogma tersebut, ataupun usaha-usaha meng-islah-kan ajaran agama dengan rasio. Tersusunlah apa yang disebut dengan “Teologi Baru” (new theology) sebagai satu usaha dalam rangka niatan tersebut.
Isu relasi agama dan rasio pada akhirnya menyebabkan seorang kristian, Fulton J. Sheen, dalam karyanya “God and intelligence in Modern Philosophy”, mengatakan: “Pengingkaran terhadap akal adalah pengingkaran terhadap Tuhan yang kesempurnaan-Nya tak terbatas, sebagaimana pengingkaran terhadap Tuhan yang kesempurnaan-Nya tak terbatas adalah pengingkaran terhadap akal; kedua hal tersebut tak mungkin terpisahkan”. Reaksi para teolog dan pemuka rohaniawan Kristen -dalam mempertahankan keyakinan mereka menghadapi tantangan tersebut- cukup beragam. Saat itu muncullah tiga bentuk reaksi[2]:
· Strong Rasionalism, yang meyakini bahwa rasio dan argumentasi pasti mampu menjelaskan segala ajaran agama secara benar. Willian K Clifford, Thomas Aquinas dan John Looke seringkali tampil sebagai tokoh-tokoh utama pemikiran ini.
· Fideism, yang meyakini bahwa ajaran agama adalah doktrin yang tidak bisa disentuh oleh rasio manusia. Hal itu mengingat ajaran agama berada di luar daya dan kapasitas rasio. Paul Tillich, Martin Luther dan Sir. Anselm termasuk yang meyakini hal tersebut.
· Critical Rasionalism, yang meyakini bahwa rasio mampu menjelaskan ajaran-ajaran agama, hanya saja kebenarannya tidak dapat ditetapkan secara pasti. Thomas Morris, George Mavrodes dan penulis buku itu sendiri cenderung kepada pendapat ketiga ini.
Dari sini kita tahu, bahwa dalam tradisi Kristen seakan argumen rasional lebih ditekankan dalam rangka pembelaan atas ajaran agama (apologetic). Dengan kata lain, rasio dipergunakan untuk mencari pembenaran, bukan untuk mencari kebenaran. Pada kalangan umat Islam pun sudah ada tantangan dalam upaya mengkompromikan agama dan rasio, yang terkadang digelindingkan oleh beberapa pemikir yang selalu kritis dalam memperlakukan teks-teks agama yang dianggap tidak sesuai dengan alam pikiran mereka.
Islam sebagai agama pamungkas dan syariat terakhir yang diturunkan oleh Allah swt, serta Al-Quran sebagai kitab suci terakhir dituntut mampu dalam menjawab semua tantangan yang ada. Adakah ajaran Islam selaras dengan apa yang diserukan oleh akal budi manusia? Apakah Islam dengan berbagai teks agama yang dimilikinya mampu menjawab semua tantangan rasionalitas pemikiran? Jika jawabannya negatif, niscaya Islam akan kehilangan predikatnya sebagai agama terakhir yang idealnya mampu menjawab tantangan segala zaman. Akan tetapi jika jawabannya positif, maka akan banyak sekali bermunculan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan permasalahan tersebut sebagai konsekuensi dari jawaban positif tadi.
Dari sekian banyak pertanyaan yang muncul dari isu tersebut ialah; apakah yang dimaksud dengan rasio? Adakah rasio bisa menjadi tolok ukur kebenaran ajaran agama? Bagaimana Islam menerima argumentasi rasional? Adakah ia sebatas sebagai apologetic sebagaimana yang digunakan dalam tradisi Kristen, atau memang sudah menjadi keseutuhan Islam? Sampai batas manakah rasio bisa menjadi dalil kebenaran? Bagaimanakah rasio manusia yang relatif ini bisa menjadi tolok ukur kebenaran? Bagaimana metode islah dan penyelarasan antara rasio dan agama? Bagaimana jika ternyata ketimpangan antara rasio dan teks agama? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang muncul dari isu itu.
Kita di sini akan mencoba menjawab secara ringkas pertanyaan-pertanyaan yang menjadi dasar pemikiran Rasionalitas Agama. Sebelum kita masuk pada intinya, terlebih dahulu kita telaah secara singkat beberapa hal di bawah ini yang sekaligus sebagai prolog pembahasan kita kali ini:
Pertama, dalam kehidupan kita sehari-hari bisa dipastikan, bahwa apapun yang biasa dicerna oleh pikiran kita –lepas dari benar salahnya hal-hal tersebut- tidak akan keluar
dari tiga kemungkinan berikut ini:
1. Rasional; segala sesuatu yang sesuai dengan realita –dengan arti umum- dan sesuai dengan prinsip-prinsip logika manusia sehat.[3]
2. Irasional; segala sesuatu yang tidak sesuai dengan realita dan tidak sesuai pula dengan prinsip-prinsip logika manusia sehat.
3. Supra-rasional; segala sesuatu yang sesuai dengan realita akan tetapi penerapan logika manusia dalam menetapkannya masih belum didapat. Dengan kata lain bahwa hal tersebut bukan berarti masuk kategori tidak masuk akal (irrasional) akan tetapi dikarenakan keterbatasan akal maka ia belum mampu –atau bahkan tidak mampu karena hal-hal yang akan kita jelaskan nanti- untuk menjangkaunya secara argumentatif dan tidak menutup kemungkinan suatu saat kelak akal mampu menganalisanya dengan argumen yang logis sesuai dengan prinsip-prinsip dasar ilmu logika.
Kedua, sudah menjadi kesepakatan semua kelompok kaum muslimin bahwa ajaran syariat Islam[4] bertumpu pada dua[5] pilar:
1. Ushuluddin; dari segi bahasa ushul kata jamak dari asl yang berarti asas, sedang din berarti agama, oleh karenanya ushuluddin berarti asas-asas agama. Ajaran agama-agama samawi (Yahudi, Kristen dan Islam) sepakat bahwa ada tiga asas pokok yang dimiliki oleh agama Allah yang mencakup Ketuhanan, Kenabian dan Hari Kebangkitan.
2. Furu’uddin; dari sisi bahasa furu’ kata jamak dari far’ yang berarti cabang, oleh karenanya furu’uddin berarti cabang-cabang agama. Cabang-cabang agama ini mencakup urutan tata cara ibadah yang biasa disebut dengan syariat.[6] Syariat dalam makna ini mencakup ritualitas (ibadat), transaksi (muamalat) dan hukum jinayat.
Ketiga, Ajaran-ajaran agama Islam yang tercantum dalam al-Qur’an maupun hadis-hadis saheh tidak lepas dari dua bentuk penyampaian:
a- Deskriptif; ajaran yang disampaikan dengan bentuk ini berpotensi untuk dilakukan pembuktian akan benar-salahnya suatu ajaran. Dikarenakan ajaran melalui proses penyampaian deskriptif (jumlah-ikhbariah) merupakan usaha untuk membangun kerangka pengetahuan sehingga dalam pembuktiannya bisa melalui argumen-argumen logika.
b- Normatif; ajaran yang disampaikan melalui bentuk normatif (jumlah-insya’iah) ini tidak memiliki potensi untuk diadakannya suatu pembuktian salah-benar suatu ajaran. Dikarenakan ajaran melalui proses tersebut tidak berfungsi untuk membangun suatu kerangka pengetahuan maka argumen dalam menetapkan benar-salah tidak berfungsi disini, kalaulah akan diadakan suatu penelitian maka hanya berkisar tentang sebab (baca:Hikmah[1]) dibalik perintah atau larangan tersebut.
Setelah kita mengetahui sekilas hal-hal diatas marilah kita tengok pendapat kelompok-kelompok Islam dalam menghukumi peranan argumen rasional pada ajaran agama.
Mazhab-mazhab Islam dan argumen rasional:
Dalam sejarah perkembangan Islam, kemunculan beberapa mazhab merupakan fonomena tersendiri yang tidak bisa dipungkiri. Perbedaan-perbedaan pendapat baik yang berkaitan dengan furu’uddin maupun furu’uddin adalah salah satu penyebab utama munculnya mazhab-mazhab tersebut. Bukan hanya dari sisi muatan ajaran saja mereka berbeda akan tetapi dari sisi metode penetapan kebenaran (berargumen) ajaranpun terjadi perbedaan pendapat. Salah satu sarana dalam menetapkan kebenaran ajaran agama yang menjadi pemicu perbedaan pendapat antar mazhab-mazhab Islam adalah tentang peranan argumen rasional dalam menetapkan kebenaran ajaran agama. Disini kita akan sebutkan tiga pendapat dari kelompok-kelompok Islam perihal argumentasi rasional:
1- Mazhab Zahiri (kontekstualisme): mereka hanya mengambil tekstual (zahir) suatu teks agama tanpa memperdulikan makna yang ingin disampaikan oleh pembicara [2](mutakallim) dibalik itu. Mereka menolak dengan tegas segala macam ta’wil ataupun argumentasi akal. Merekapun berusaha untuk menjaga dimunculkannya permasalahan dan pemikiran baru yang masuk dalam ajaran agama, oleh karenanya mereka menolak berbagai pertanyaan yang menimbulkan munculnya permasalahan baru. Anas bin Malik adalah contoh dari tokoh pemikiran diatas dimana ia pernah ditanya tentang ayat:“Allah bersemayam disinggasana (arsy)” (Qs Thaha:5)
maka Anas menjawab: “makna istiwa’ (bersemayam) sudah bisa dipahami, bentuk (kualitas) istiwa’ tidak dapat diketahui, dan mengimani hal tersebut adalah suatu kewajiban, sedang bertanya tentang hal tersebut merupakan bid’ah”.[3]
2- Mazhab Aqli (rasionalisme): mereka meyakini bahwa segala macam ajaran agama bisa dideteksi melalui rasio. Mereka meyakini bahwa wajib dan haram dalam ajaran agama bisa diketahui oleh rasio manusia dimana itu semua bertumpu pada landasan kaidah “wujub syukril-mun’im” (kewajiban berterima kasih pada pemberi nikmat) sedang kaidah itu bertumpu pada rasionalitas baik-buruk.
3- Mazhab Insijam (komplementerisme): mereka meyakini adanya relasi antara rasio dengan syariat (agama). Mereka meyakini bahwa sebagaimana wahyu dan syariat –dengan arti umum- merupakan sumber pengetahuan manusia, maka rasio dan akalpun dihukumi seperti itu pula. Mereka meyakini bahwa sebagaimana wahyu (agama) merekomendasikan banyak hal yang bersifat obyektif maka begitu pula akal (rasio).
Dikarenakan disini kita bukan dalam rangka menjustifikasi manakah dari ketiga kelompok diatas yang sesuai dengan ajaran Islam maka disela-sela pembahasan akan kita singgung sedikit tentang argumen kelompok yang mengatakan adanya relasi antara akal dan teks agama yang sesuai dengan topik kita.
Beberapa kesalahan:
Dengan kata lain mereka ingin mengatakan bahwa akal sama sekali tidak memiliki peran dalam kebenaran ajaran agama Islam. Mereka-mereka yang beranggapan semacam itu berargumen dengan ayat yang berbunyi: “Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai“ (Qs al-Ambiyaa’:23), sehingga atas dasar ayat inilah kita dilarang untuk bertanya atas segala ketentuan Ilahi, sedang dalam ayat lain Allah berfirman: “menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah“ (Qs al-An’am:57) yang berarti bahwa segala peraturan dan perintah milik Allah secara mutlak.
Berdasarkan dua ayat diataslah maka mereka berkesimpulan bahwa bertanya –yang merupakan pekerjaan akal- tentang segala hal yang telah menjadi kebijakan Allah mutlak diharamkan, yang hal itu berarti secara mutlak jalan buat argumen akal tertutup dan hanya argumen tekstual agama saja yang dianggap.
Sebelum kita menjawab problem diatas, terlebih dahulu harus kita ketahui bahwa apakah gerangan tujuan yang akan dicapai melalui tanya-jawab berkaitan dengan berbagai hal-hal agama? Harus disadari bahwa relasi antara pertanyaan dan jawaban sebagaimana relasi antara positif dan negatif pada aliran listrik guna memunculkan suatu tenaga. Jika terdapat aliran negatif sedang aliran positif tidak didapat atau tidak adanya keseimbangan antar keduanya maka lampu tidak akan nyala sesuai dengan yang dinginkan. Begitu pula dengan pertanyaan jika jawaban yang ada tidak didapat atau tidak memuaskan maka cahaya (penerangan) pada pikiran masyarakat tidak akan pernah kita dapati.
Dalam ayat al-Qur’an disebutkan:“Semua yang ada dilangit dan dibumi selalu meminta (/bertanya) kepada-Nya, Setiap waktu Dia dalam kesibukan“ (Qs ar-Rahman:29) Ayat ini menunjukkan bahwa kelangsungan pancaran Ilahi (divine emanation) pada sisi penciptaan manusia dan bagian alam materi lainnya tersimpan dalam bentuk pertanyaan dan jawaban. Kita ketahui bahwa segala sesuatu selain Allah memerlukan selainnya sedang hanya Dzat Allah saja Yang Maha Kaya, maka segala makhluk ciptaan Allah selalu menanyakan (baca:meminta) segala kebutuhannya sedang Allah selalu menjawab pertanyaan itu dengan pengkabulan. Tentu pertanyan yang bertujuan untuk menguji bukan bermuatan mencari keilmuan oleh karenanya ia dikategorikan ibarat aliran negatif yang tidak memiliki aliran positif, hukum yang sama akan kita katakan pada pertanyaan yang tidak terjawab atau jawabannya tidak memuaskan.
Berbeda halnya dengan pertanyaan yang bertujuan untuk mencari keilmuan –yang didasari atas ketidaktahuan- maka disaat itu dengan merujuk pada ahlinya kita pasti akan mendapat jawaban yang memuaskan dan masuk kategori adanya relasi antara positif dan negatif sehingga menghasilkan kekuatan menerangi pada lampu. Allah berfirman:“maka bertanyalah kepada orang yang memiliki pengetahuan (ahlu-zikr) jika kamu tidak mengetahui“ (Qs an-Nahl:43)
Dari sini dapat kita simpulkan bahwa tanya-jawab memiliki beberapa bagian:
1- Pertanyaan dengan bentuk permohonan yang ditujukan kepada Allah atau para “manusia Ilahi” dengan izin Allah. Permohonan kepada Allah ini yang juga masuk kategori jenis pertanyaan, bukan hanya tidak dilarang akan tetapi justru ditekankan dalam ajaran agama. Sebagaimana yang tercantum dalam ayat:“dan memohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya” (Qs an-Nisaa’:32)
2- Pertanyaan untuk meningkatkan keilmuan, dimana al-Qur’anpun dengan jelas sebagaimana yang telah disinggung (dalam ayat diatas an-Nahl:43) bahwa: “maka bertanyalah kepada orang yang memiliki pengetahuan (ahlu-zikr) jika kamu tidak mengetahui”. ayat ini jelas sekali penekanannya akan perihal tersebut.
3- Pertanyaan yang dilontarkan dalam rangka protes kepada Allah, tentu pertanyaan jenis ini dilarang oleh agama sebagaimana yang tercantum dalam ayat:23 surat al-Anbiyaa’ dimana Allah berfirman: “Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai “ karena bukan hanya manusia biasa yang akan ditanya oleh Allah diakhirat kelak namun para nabi dan rasulpun akan ditanya oleh Dzat yang Penguasa alam semesta: “Maka sesungguhnya kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus rasul-rasul kepada mereka dan sesungguhnya Kami akan menanyai (pula) rasul-rasul (Kami)“ (Qs al-A’raaf:6).
Dari sini jelaslah bagi kita manakah pertanyaan yang diperbolehkan oleh agama dan manakah pertanyaan yang dilarang oleh agama. Tentu pelarangan secara mutlak segala jenis pertanyaan berkaitan dengan hal-hal yang tersembunyi dibalik ajaran agama akan mengakibatkan ke-jumud-an dan yang berakhir pada ketidak berkembangnya keilmuan umat akan agamanya sehingga agama hanya sekedar gudang ajaran yang bersifat dogmatis belaka. Jika hal itu terjadi sementara fitrah selalu ada gejolak untuk mempertanyakan sesuatu yang masih belum ia pahami maka agama beserta doktin-doktrinnya akan sekedar menjadi hiasan pada KTP belaka dan menjadi sekedar warisan nenek moyang, dan berakhir telah keluarnya agama dari tujuan aslinya yaitu menghantarkan kepada kemuliaan dunia-akhirat yang itu semua mustahil terwujud tanpa didukung dengan keilmuan. Selain itu peningkatan kualitas ibadah –yang ditekankan oleh Allah- tidak akan bisa terwujud, dikarenakan kualitas ibadah didasari keilmuan akan makna ibadah itu sendiri juga dipengaruhi oleh niat yang baik dimana niat yang baik harus dilandasi pula dengan pengetahuan, oleh karenanya jika pintu tanya-jawab ditutup maka ilmu yang masih belum didapat tidak akan pernah ia dapati sehingga kualitas ibadah yang baikpun tidak akan pernah bisa didapat.
Rasionalitas baik-buruk:
Pembahasan tentang rasionalitas syariat Islam bertumpu pada satu pembahasan prinsip yaitu tentang penerimaan konsep rasionalitas baik-buruk. Sebagaimana penerimaan argumen rasio terjadi perbedaan pendapat antar kelompok kaum muslimin, maka fungsi rasiopun juga tidak luput dari perbedaan pendapat dikalangan mereka karena hal tersebut adalah cabang dari pemikiran tentang penerimaan argumen rasio. Dalam pembahasan ini kita akan singgung sedikit[7] tentang rasionalitas baik-buruk dengan beranjak dari beberapa pertanyaan yang menjadi pacuan dari pembahasan ini:
1- apakah baik-buruk merupakan suatu yang substansial bagi segala sesuatu?
2- apabila telah ditetapkan bahwa baik-buruk merupakan substansial bagi segala sesuatu, maka apakah bisa didapat cara untuk mengetahui dan menentukannya?
3- jika ternyata bisa ditetapkan bahwa baik-buruk mampu ditentukan oleh akal, maka apakah baik- buruk yang dihasilkan oleh akal tadi hanya mengakibatkan ganjaran duniawi saja atau mencakup balasan ukhrawi juga?
Sebelum kita masuk pembahasan ini, perlu dijelaskan tentang baik-buruk yang kita akan bahas dan yang menjadi selisih paham antara beberapa kelompok muslimin.
1- Baik adalah sesuatu yang diidentikkan dengan segala yang sesuai dengan kehendak manusia, buruk adalah sesuatu yang tidak sesuai dengan kehendaknya. Pemandangan indah dikatakan baik karena sesuai dengan kehendak manusia, sebaliknya pemandangan jelek yang dianggap buruk. Dalam makna baik-buruk disini tidak terjadi perbedaan antar kelompok kaum muslimin.
2- Baik adalah sesuatu yang identik dengan kesempurnaan, buruk adalah sesuatu yang identik dengan kekurangan. Kecerdasan disebut baik karena masuk kategori sesuatu yang sempurna sedang kebodohan disebut jelek karena masuk kategori sesuatu yang kurang. Dalam makna baik-buruk seperti inipun tidak ada perbedaan pendapat antar kelompok kaum muslimin.
3- Baik adalah segala perbuatan yang sesuai dengan tinjauan akal, buruk adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan tinjauan akal. Dengan kata lain apakah akal mampu menentukan baik-buruk perbuatan manusia dalam arti layak atau tidaknya perbuatan manusia? Disini terjadi perbedaan pendapat antara beberapa kelompok dalam Islam.
Secara ringkas bisa kita sebutkan tentang sumber perbedaan pendapat antar theolog muslim.
Kita perhatikan pada realita yang ada bahwa secara global perbuatan manusia bisa dibagi menjadi tiga bagian:
1- Perbuatan yang menjadi penyebab utama (prima causa) dari baik-buruk, yang secara substansial ia menjadi penyebab predikat baik-buruk suatu perbuatan, sebagaimana adil merupakan hal baik dan zalim merupakan hal buruk.
2- Perbuatan yang jika disesuaikan situasi dan kondisinya memiliki muatan baik atau buruk sedang akal juga menghukuminya sesuai dengan situasi dan kondisi tersebut dari sisi baik atau buruk pula. Jujur tidak selamanya baik sebagaimana bohong tidak selamanya buruk, semua itu disesuaikan dengan maslahat situasi dan kondisi yang ada. Kita bisa katakan bahwa jujur adalah baik, tapi kebaikan disini bukan dilihat dari sisi bahwa jujur adalah penyebab utama (prima causa) kebaikan tersebut, begitu pula dengan bohong.
3- Perbuatan biasa yang tidak ada hubungan dengan situsi dan kondisi –sebagaimana pada bagian kedua- yang biasa dalam syariat disebut dengan mubah seperti duduk atau berdiri. Hukum hal semacam ini tidak berhubungan dengan situasi dan kondisi –dari sisi perubahannya- kecuali jika ia menjadi obyek sesuatu yang lain. seperti duduk adalah suatu hal yang boleh saja, kecuali jika kita dipaksa untuk duduk dan jika tidak akan dibunuh, maka hal itu telah masuk pembahasan lain.
Mayoritas pengikut Syi’ah imamiah meyakini bahwa ketiga bentuk pekerjaan diatas akal/rasio manusia secara independen dapat menentukan hukum sendiri –dari sisi baik-buruk- walau tanpa bantuan wahyu dari Allah. Mereka tidak mengatakan bahwa akal sebagai bagian dari sederetan teks agama (sunnah)[9] –sebagaimana yang diyakini oleh mayoritas pengikut Asya’irah- tapi akal sejajar dengan teks agama, kalaupun ada teks agama yang sesuai dengan fatwa akal maka hal itu sebagai penguat dan pendukung saja.
Kelompok yang meyakini rasionalitas baik-buruk mengatakan bahwa ada beberapa konsekwensi logis yang harus kita terima jika kita menolak pendapat tentang rasionalitas baik-buruk tersebut, antara lain:
1- Penentangan atas naluri kemanusiaan; dengan merujuk kepada naluri kemanusian kita akan dapati bahwa kitapun dapat menghukumi antara baik-buruk atas beberapa perbuatan. Banyak perbuatan seperti kejelekan khianat atau zalim manusia dengan merujuk pada naluri kemanusiaannya mampu menghukumi bahwa hal seperti itu jelek, sebagaimana menghukumi baik atas belaku adil dan berbuat baik. Semua itu bisa dihukumi oleh manusia –baik kaum ateis sekalipun- tanpa bantuan syariat atau teks agama.
2- Pengingkaran atas syariat; jika baik-buruk suatu perbuatan hanya bisa diketahui melalui syariat niscaya kita tidak akan mampu menghukumi baik-buruk segala perbuatan. Dengan kata lain jika manusia tidak bisa menghukumi baik-buruk dengan rasionya maka segala baik-buruk –walau dengan hukum syariat- akan ternafikan. Bagaimana mungkin sewaktu Rasul memberitahukan tentang kejelekan berbohong dan kebaikan berlaku jujur, sedang dari sisi lain –jika rasio kita tidak mengenal baik-buruk- lantas kita memberikan kemungkinan bahwa beliau –nauzubillah min zalik- sewaktu menjelaskan hal tersebutpun ada kemungkinan berbohong pula. Jika itu terjadi –munculnya kemungkinan-kemungkinan kebohongan Rasul- maka kitapun tidak akan bisa menerima baik-buruk hasil dari tuntunan syariat, karena selalu munculnya keraguan pada syariat.
3- Lemah dalam menetapkan masalah kenabian; sewaktu rasio manusia mengetahui bahwa berbohong adalah buruk dan harus dijauhkan dari Dzat Suci Ilahi maka dari situ kitapun akan bisa menghukumi bahwa Allah (swt) mustahil memberikan mukjizat –yang sebagai bukti kenabian- kepada nabi palsu (baca:pembohong). Rasio manusia mampu menghukumi bahwa kesaksian nabi sejati utusan Allah bisa dilacak kebenarannya melalui kemampuan mengeluarkan mukjizat, jika rasio manusia tidak mampu mendeteksi baik-buruk secara rasional niscaya muncullah kemungkinan-kemungkinan seperti pemberian mukjizat oleh Allah kepada pembohong…dst.
Inilah sekilas tentang permasalahan rasionalitas baik-buruk yang menjadi tumpuan utama pembahasan rasionalitas syariat. Sekali lagi yang perlu diingat dalam pembahasan ini adalah bahwa teori tentang rasionalitas syariat hanya bisa dicerna oleh individu yang menerima teori rasionalitas baik-buruk saja. Dengan kata lain teori rasionalitas baik-buruk adalah basic utama pembahasan tentang rasionalitas syariat. Tanpa menerima teori rasionalitas baik-buruk, maka teori rasionalitas syariat akan sulit untuk dicerna.
[islamalternatif.net]
——————————————————————————–
[1] Harus kita bedakan antara istilah sebab yang berarti causa dan sebab yang berarti hikmah. Causa berhubungan dengan causalitas yang berarti tanpa adanya causa mustahil adanya efect sedang hikmah tidak semacam itu dengan kata lain lain dalam hukum kausalitas causa harus ada terlebih dahulu baru effect akan muncul sedang dalam masalah hikmah tidak ada hukum semacam itu. Hikmah boleh terwujud pada banyak hal sedang causa terbatas pada hal-hal tertentu saja.
[2] Yang kita maksud pembicara disini adalah Allah jika berkaitan dengan ayat, dan Rasulullah jika hal tersebut berupa hadis.
[3] Kitab “al-Milal wa an-Nihal” jil:1 hal:105
——————————————————————————–
[1] Lihat kembali kisah pengingkaran gereja atas teori copernicus yang dianggap bertentangan dengan al-kitab, begitu pula pengalaman
[2] Untuk penjelasan secara detailnya silahkan merujuk buku “reason and religious belief” An Introduction to The Philosophy of Religion-Oxford University Press, 1991 karya: Michael L Peterson .
[3] Segala prinsip logika untuk menjadi kebenaran pasti harus kembali kepada tata cara penerapan silogy (qiyas) dengan bentuk demonstratif (burhan) sedang silogy demonstratif itu sendiri premis-premisnya (mayor-minor) harus dari sesuatu yang necessary (badihiaat) –sehingga hal tersebut bisa dijamin kebenarannya- dimana premis necessary ini bertumpu pada kemustahilan bertemunya dua hal paradox (ijtima’ an-naqidzain) yang masuk kategori necessary preponderances (badihiaat-awwaliyaat). Semua itu telah dibahas secara rinci dalam buku-buku logika, bagi yang berminat menelaah secara terperinci silahkan merujuk buku-buku logika.
[4] Dalam pembahasan keislaman kata syariat dipakai pada dua arti yang berlainan; Pertama syariat yang berarti segala apa yang diturunkan oleh Allah yang mencakup ushuluddin dan furu’uddin sekaligus. Kedua syariat yang berarti susunan aturan-aturan praktis yang mengatur
[5] Sebenarnya terdapat bagian ketiga dari tumpuan Islam yaitu etika, akan tetapi karena dikarenakan pembagian kita atas dasar dua titik pokok yaitu pondasi dan bangunan agama oleh karenanya etika kita masukkan segabai bagian dari furu’uddin, walau pada hakikatnya etika memiliki basic tersendiri.
[6] Yang kita maksud syariat disini bermakna syariat dalam arti kedua sebagaimana yang telah kita singgung dalam catatan kaki no:4.
[7] Karena begitu luasnya pembahasan ini maka kami ringkas saja sebagai bahan pelengkap dalam artikel ini, bagi yang berminat untuk mendapat informasi lebih lengkapnya silahkan merujuk buku-buku theologi atau Ushul-fiqih komparatif.
[8] Pengikut Abul-hasan al-Asy’ari, sebagaimana yang tercantum dalam Kitab “Syarh Mawaaqif” jil:8 hal:181 atau kitab “Syarh Maqoshid” jil:4 hal:282.
[9] Perlu dicatat disini –biar tidak terjadi kesimpang-siuran- bahwa harus dibedakan antara akal yang sebagai penyingkap maksud ungkapan para maksum, dimana disini akal masuk kategori salah satu bagian dari jajaran sunnah, sedang akal yang sebagai penyingkap hukum Allah maka ia sejajar dengan ayat maupun riwayat dalam arti memiliki keindependenan dalam penyingkapannya.
http://islamsyiah.wordpress.com/2008/04/25/rasionalitas-syariat-islam-1/
0 komentar:
Posting Komentar
Tulis pendapat anda disini ........