ISLAM AGAMA RASIONAL

Akal dan Fikir dalam Meningkatkan Ketakwaan

INSTAFOREX TRADING

Selasa, 22 Juni 2010

Islam Yang Rasional

Diposting oleh PUTRA

RASIONALITAS SYARIAT ISLAM [2]
Oleh: Muchtar Luthfi


Agama dan Rasio:
Sebelum kita menginjak pembahasan utama, harus kita perjelas terlebih dahulu arti rasio (akal). Ada banyak pengertian dari istilah rasio ini, akan tetapi secara global istilah tersebut dalam diskursus agama bisa teringkas dalam dua pengertian:

a- Rasio teoritis (aql nazari); yaitu rasio yang hanya berhubungan dengan hal-hal teoritis yang berakhir pada justifikasi antara ada atau tiada-nya sesuatu. Dasar utama rasio ini bertumpu pada salah satu dari tiga hal: indera (hiss), emosi (wahm), imajinasi (khayal). Dimana hasil dari rasio teoritis berhubungan dengan realitas objektif (takwini) seperti tentang ketuhanan, kenabian, adanya Hari Aakhir…dst.

b- Rasio praktis (aql amali); yaitu rasio yang hanya berhubungan dengan hal-hal praktis yang berakhir pada justifikasi antara hal-hal harus dilakukan dan harus ditinggalkan-nya suatu tindakan. Dasar utama rasio ini bertumpu pada hal-hal sepeti: Gaira atau semangat (syahwah) dan emosi (ghadhab). Kedua hal inilah yang lantas mampu menghantarkan manusia kepada berbagai macam tingkatan kehendak (iradah) dan tekad. Sedangkan hasil dari rasio praktis berhubungan dengan realitas konvensional (i’tibari) seperti: hak kebebasan, kepemilikan, perizinan…dst.

Lalu, bagaimana relasi di antara kedua jenis rasio itu? Jelas, tidak ada konsekuensi di antara kedua jenis rasio di atas. Tentu terdapat kemungkinan terhentinya rasio pada tingkatan tertentu, dimana rasio teoritis saja yang menjadi alasan suatu pekerjaan dan tanpa dibarengi dengan rasio praktis, hal itu mengakibatkan terbatasnya pengetahuan seseorang pada hal-hal yang bersifat inderawi atau insting saja. Sebagaimana adanya kemungkinan bahwa seseorang hanya mengandalkan emosi saja –yang menjadi obyek rasio praktis- dalam menentukan tujuan yang harus ia tempuh tanpa mengindahkan rasio teoritis. Dua kemungkinan diatas tadi walaupun bisa dikategorikan sebagai usaha rasionalisasi pengetahuan, akan tetapi kategori tersebut akan menjadi sempurna jika rasio teoritis menjadi pembimbing dalam menentukan sepak terjang indera, insting dan imajinasi. Rasio teoritis yang berfungsi sebagai detektor hal-hal universal dan rasio praktis sebagai yang mengarahkan emosi jika terjadi kerja sama yang baik antara kedua jenis rasio tersebut, maka akan terwujudlah segala tujuan yang bersifat rasional secara sempurna.

Mungkinkah antara rasio dan agama dipisahkan? Kita bisa perhatikan hubungan antara satu dengan yang lainnya dalam pembahasan di bawah ini yang menunjukkan bahwa hubungan di antara keduanya adalah sejajar atau komplementer. Al-Quran yang sebagai dasar hukum agama sangat menekankan adanya relasi antara agama dan rasio. Dalam ayat 12 surat at-Thalaq –sekedar sebagai contoh- Allah SWT) menjelaskan akan penekanan-Nya pada rasio teoritis. Allah berfirman:“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku pula kepadanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”

Dalam ayat di atas, Allah menyebutkan bahwa tujuan penciptaan alam semesta adalah untuk meningkatkan keilmuan manusia. Sebagaimana yang telah disinggung, maka kita tahu bahwa usaha peningkatan kualitas maupun kuantitas keilmuan berada pada tanggungjawab rasio teoritis. Manusia sudah bisa dikatakan telah berhasil merealisasikan tujuan penciptaannya di saat ia telah mampu untuk memanfaatkan secara optimal potensi berpikir yang telah ia miliki dengan baik. Dengan berbekal rasio teoritis tadi, manusia akan dapat mampu untuk menyingkap banyak hal yang selama ini samar baginya.

Dalam ayat:56 dari surat az-Dzariyat Allah SWT berfirman:“dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku”. ayat ini menjelaskan tentang pentingnya rasio praktis -yang terwujud dalam perkara-perkara ibadah- sehingga disebut sebagai tujuan penciptaan golongan jin dan manusia. Segala bentuk ibadah tanpa didukung oleh rasio praktis tidak akan memenuhi standar kualitas yang diinginkan. Dengan kata lain, bahwa tanpa rasio praktis niscaya manusia tidak akan mampu menentukan tujuan yang benar dalam beribadah, dimana jika hal itu terjadi maka segala macam ibadah akan kehilangan fungsi utamanya yang transendental, yaitu penghambaan terhadap Allah.

Kita tidak bisa mengatakan bahwa jika tujuan penciptaan terpenuhi dalam relasi rasio praktis dan rasio teoritis, maka akan terjadi sesuatu yang paradoks. Dikarenakan antara kedua jenis rasio tersebut masing-masing memiliki peran positif dalam batasan-batasan tertentu. maka itu, tidak akan mungkin terjadi paradoks, sehingga jika salah satu telah ditetapkan maka yang lain tidak akan mungkin menafikannya.

Apakah rasio perlu terhadap agama sebagaimana agama perlu terhadap rasio? Sebagaimana agama –khususnya Islam- melihat rasio begitu sakral sehingga diangkat sebagai salah satu sarana untuk mencapai hakikat kebenaran. Akan tetapi disisi lain, agama pun tidak melepaskan begitu saja rasio tanpa diberi tali kekang sehingga rasio bisa dikendalikan untuk meniti jalan yang benar dan mampu menghantarkan manusia pada penyingkapan hakikat yang selama ini samar. Islam dalam penyakralan rasio sampai pada batas bahwa rasio mampu untuk menyingkap beberapa hukum syariat dan mengategorikan rasio sebagai salah satu dalil paten (dalil qath’i) syariat.
Untuk lebih jelasnya pembahasan di atas, ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi, secara ringkas kita bisa sebutkan disini bahwa:

1- Kita –kaum muslimin- yakin bahwa tolok ukur syariat agama adalah hukum Allah SWT.

2- Sumber utama hukum Allah tiada lain adalah kehendak Allah (iradatullah) sebagai Dzat yang memiliki kesempurnaan dan kekusaan yang absolut.

3- Hanya melalui dalil-dalil syariat kita bisa menggali dasar hukum syariat Ilahi yang sesuai dengan kehendak-Nya.

4- Dalil syar’i mencakup teks agama (nash) dan rasio, dimana teks agama mencakup ayat dan riwayat para maksum.

Konklusi dari empat perkara -yang sekaligus sebagai premis – di atas adalah bahwa sebagaimana teks agama maka rasio pun memiliki kelayakan sebagai argumen syariat, yakni bahwa rasio pun mampu menyingkap sebagian hukum Allah SWT.

Ada satu hal yang perlu dicatat dalam memahami istilah yang sering kita pakai di sini ialah anggapan bahwa antara agama dan akal (rasio) dua hal paradoksikal merupakan suatu kesalahan besar, karena agama merupakan kumpulan dari pengetahuan manusia baik yang bersumber dari teks agama maupun dari rasio. Dari situ maka, agama bukanlah lawan dari rasio sebagaimana yang dipahami sebagian orang. Dengan kata lain, kebenaran agama harus ditetapkan melalui argumen tekstual agama itu sendiri dan argumen rasional secara bersamaan. Sebagaimana banyak ayat yang menjelaskan akan perlunya menggunakan akal dalam kehidupan kita, maka perintah tersebut menunjukkan bahwa akal merupakan salah satu referensi Ilahi (hujjatullah).

Perlu ditambahkan bahwa kita mengetahui –berdasarkan pada argumen ajaran agama dan rasio- hakikat manusia bukanlah materi kasar yang terdiri dari panjang, tinggi dan lebar ini, akan tetapi hakekat manusia dinilai dari sesuatu yang berada dibalik badan materi kita. Hakekat tersebut akan bisa dikatakan sempurna jika dibekali dengan pengetahuan yang baik dan benar lantas dibarengi dengan usaha keras dalam mengaplikasikan apa yang sudah dipahami. Pengetahuan yang baik dan benar itu hanya bisa didapat melalui pertama: akal dan kedua: wahyu. Bahkan, pengakuan akan wahyu pun didasari oleh penerimaan terhadap akal. Akal harus berkhidmat kepada manusia dalam menghantarkannya menuju kesempurnaan manusia.

Imam Ja’far as-Shodiq AS pernah mendefinisikan akal –praktis- dengan ungkapan: “sesuatu yang dengannya Allah disembah, dan dengannya yang bisa menghantarkan manusia pada sorga” (Ushul Kafi, jild1:11). hal diatas bisa kita korelasikan dengan ayat yang menjelaskan tentang makhluk yang zahirnya manusia, akan tetapi karena tidak menggunakan akalnya maka ia terjerumus ke lembah hewani dan menjadi lebih hina dari binantang. Ayat itu berbunyi: “Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi“ (Qs al-A’raaf:179)

itu sebagai bukti bahwa betapa besar peran akal dalam menghantarkan manusia agar sampai pada kesempurnaan; kesempurnaan esensial manusia sehingga ia tidak terjerumus kelembah hewani.

Dalam logika memahami Al-Quran, kita diajari bahwa sebelum kita masuk dalam pembahasan cara memahaman Al-Quran, terlebih dahulu kita harus mengerti mukadimah ilmu Al-Quran yang tercakup dalam ulumul-Qur’an. Begitu pula halnya yang berkenaan dengan argumen-argumen rasional, sebelum kita mengetahui berbagai kaidah dan konsep rasional, kita harus ketahui terlebih dahulu tentang Rasiologi yang membahas tentang pengenalan tentang ilmu-ilmu rasional. Dalam ilmu ini, kita akan dikenalkan terlebih dahulu jawaban-jawaban menyangkut persoalan seperti: Apakah yang dimaksud dengan rasio (akal)? Adakah rasio suatu yang materi atau non-materi? Sampai dimana kita bisa mengenal akal?…dst. kalau sudah kita lalui pembahasan tersebut, maka kita akan masuk pembahasan tentang kaidah dan konsep-konsep rasional seperti: Apakah mungkin bertemunya dua hal yang kontradeksi? Apakah pemberian tanggungjawab yang berat pada individu lemah merupakan kebaikan (taklif bima la yuthoq)? Apakah kezaliman secara esensial merupakan keburukan?…dst.

Jka kita telah memahami tentang tiga pembahasan yang berkaitan dengan akal sebagaimana yang tercantum dalam topik-topik dibawah ini:

1- Pengenalan akan rasio.
2- Perbedaan antara kepastian logis (yakin) dan kepastian psikologis (emosional).
3- Kelebihan rasio yang sebagai pelaku (sumber) hukum diatas rasio sebagai obyek yang memahami hukum.

Maka akan nampak bagi kita tentang adakah pernyataan akal sesuai dengan pernyataan agama, atau dengan kata lain adakan argumen akal sesuai dengan argumen teks agama? Mari kita perhatikan contoh ini; berkenaan dengan kemerdekaan dalam ayat Al-Quran disebutkan:

“…Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman …” (Qs an-Nisaa’:141)
dari sini kita ketahui betapa teks agama sangat menekankan akan kemerdekaan bangsa -yang berarti berhubungan langsung dengan dengan kebijakan politik, budaya, ekonomi dan hankam sebuah negara- sedang disisi lain akalpun menghukumi tentang “kebaikan sebuah kemerdekaan” hal ini semua menunjukkan bahwa adanya kesesuaian antara argumen akal dan teks agama.

Akal dan teks agama ibarat dua sayap bagi agama. Keseimbangan agama amat bergantung pada keberadaan dua sayap tersebut, jika salah satu lumpuh maka agama tidak akan bisa memiliki keseimbangan dengan baik atau bahkan akan membahayakan agama itu sendiri. Dengan memperhatikan argumen teks agama, maka argumen akal pun akan dapat memberi keseimbangan pada agama itu sendiri, sehingga sebagaimana teks agama bisa menjadi dasar hukum agama maka akal pun bisa pula dikategorikan sebagai dasar hukum agama.

Sampai dimana akal bisa menjadi dasar hukum agama? Untuk menjawab pertanyaan tersebut marilah kita lihat beberapa permasalahan dibawah ini yang lantas kita hubungkan dengan argumentasi rasional:

1- Dalam pembahasan ushuluddin kita harus mendahulukan argumen rasional dari teks agama terkhusus dalam masalah penetapan keberadaan Allah yang sebagai dasar dari pembahasan tauhid. Karena bagaimana mungkin kita akan menggunakan argumen teks agama dalam keberadaan Tuhan sedang keberadaan Dzat yang menurunkan teks agama masih belum kita tetapkan? Begitu pula tentang perlunya sebuah agama. Akal akan mengatakan bahwa manusia perlu bimbingan agama. Rasio dalam bagian hikmah teoritis akan mengatakan bahwa komunitas manusia perlu bimbingan wahyu, dimana wahyu tersebut diturunkan hanya kepada “manusia Ilahi” atau sering diistilahkan dengan manusia sempurna (the perfect man). Rasio manusia dalam pembahasan hikmah teoritis juga mengatakan bahwa dengan menentang ajaran manusia sempurna tadi berarti ia telah menghalangi perkembangan dari proses kesempurnaan manusia itu sendiri. Dengan kata lain akal manusia dalam pembahasan hikmah teoritis menekankan akan perlunya pengutusan seorang nabi, sedang pada hikmah praktis menekankan akan perlunya ketaatan pada ajaran para nabi yang berarti melancarkan proses kesempurnaan manusia.

2- Dalam beberapa pembahasan yang berkaitan denga ajaran agama sering kita dapati bahwa adanya relasi antara argumen akal dan teks agama –sebagaimana contoh yang telah kita singgung diatas- dimana satu dengan yang lain saling menguatkan.

3- Danyak pembahasan dalam disiplin ilmu ushul-fiqh kita dapati bahwa argumen akal terletak pada barisan belakang dari argumen teks agma. Seorang mujtahid (baca:mufti) dalam menggali dasar hukum syariat jika terbentur pada suatu yang disebut sebagai “ma la nassha fiihi” (yang tidak didapat teks agama yang menjelaskannya) maka tugas orang tersebut adalah ia harus melarikannya pada argumen rasional yang mencakup baro’at (exemption), ihtiyath (tindakan hati-hati), takhyiir (pilihan) atau nafyul-haraj wa dharar (penafian segala kesulitan dan bahaya).

Dari sini telah kita ketahui kedudukan rasio dalam ajaran Islam dari masing-masing bagian ajaran agama sehingga tidak ada percampur-adukan antara posisi rasio dan teks agama. Dalam ilmu logika telah kita ketahui bahwa dalam setiap pembuktian (baca:berargumen) pasti diperlukan premis-premis yang jelas sehingga menghasilkan suatu konklusi yang jelas pula yang sesuai dengan premis tersebut. Hubungan antara premis dan konklusi dalam sebuah sillogy adalah tugas akal, walau premis-premisnya tersusun dari argumen-argumen tekstual agama sekalipun.Oleh karenanya dalam contoh dari hukum kewajiban sholat dan kewajiban wudhu’ sebagai mukadimah bagi sholat maka akal menghukumi bahwa “jika sesuatu diwajibkan maka pelaksanaan mukaddimahnya –karena tanpa mukaddimah obyek tidak akan terwujud- wajib pula hukumnya”. Maka meninggalkan wudhu bagi seseorang menjadi haram disaat shalat diwajibkan atas diri seseorang tersebut.

Adakah semua ajaran agama memiliki potensi untuk dirasionalisasikan? Tentu sebagaimana yang telah singgung diatas –sebagai jawaban dari soalan tersebut- bisa kita tambahkan bahwa yang mampu untuk dideteksi oleh argumentasi akal adalah sesuatu yang memiliki eksistensi saja, sedang hal-hal yang non-eksistensial tidak memiliki potensi untuk diargumenkan. Begitu pula hal-hal yang hanya didapat pada individu tertentu –seperti kecenderungan yang berdasarkan pada selera- pun tidak dapat diargumen-rasionalkan karena sifatnya particular dan berubah-rubah (baca:berbeda-beda) pada masing-masing individu.

Dikarenakan segala ajaran agama memiliki muatan eksistensial –baik dialam materi maupun methaphysic- dan bukan berupa hasil kecenderungan selera manusia maka hal itu memberikan konsekuensi bahwa ajaran agama bisa diargumenkan. Sebagai bukti dari statemen diatas adalah bahwa para nabi dan rasul (as) mereka dalam menyebarkan ajaran Ilahi dimulai dengan mengajarkan ajaran tersebut kepada umat manusia dan dilanjutkan dengan pemberian argumen kepada setiap individu yang mempertanyakan kebenaran ajaran tersebut. Pemberian argumen merupakan sarana bagi para nabi dan rasul dalam menjaga kebenaran ajaran Ilahi secara ilmiah dihadapan para penanya. Pembahasan lebih detail akan kita perinci pada pembahasan selanjutnya.

Relasi antara Fiqih dan Sains:

Kita ketahui bahwa fiqih dan sains adalah dua bentuk pengetahuan yang berbeda, namun disini kita akan teliti relasi kedua macam pengetahuan tersebut. Adakah fiqih mampu bersanding dengan sains? Bagaimana hubungan diantara keduanya? Sebagian beranggapan bahwa fiqih mengikuti ilmu sainstis, dengan perincian bahwa karena “fiqih bertugas sebagai penjelas hukum suatu obyek” sedangkan “penentuan obyek hukum dilakukan oleh sains” maka dikarenakan hukum mengikuti obyeknya niscaya sewaktu obyek hukum tiada maka dengan otomatis hukumpun akan tiada karena eksisrensi obyek hukum harus terlebih dahulu jika dibanding dengan hukum itu sendiri. Konklusi dari mayor dan minor diatas adalah bahwa perkembangan hukum fiqih mengikuti sains yang konsekuensinya adalah bahwa seorang mufti (faqih) harus mengikuti ilmuwan dalam mencari obyek hukum, yang berarti bahwa ilmuwanlah sebagai tonggak utama dalam menentukan banyak hal dari kehidupan manusia.

Dari argumentasi diatas jelas sekali adanya fallacy dalam penjelasan premis akhir dimana kita bisa perhatikan tentang bagaimana mereka menjelaskan bahwa obyek hukum seakan menjadi efficient cause (illah fa’iliah) suatu hukum sedang hukum sebagai akibat dari obyek. Sewaktu kita menerima ungkapan tersebut maka konsekwnsinya adalah bahwa kita telah menggeser kedudukan Allah SWT) sebagai penentu (baca:causa) hukum. Oleh karena itu jika kita katakan bahwa eksistensi obyek hukum sebagai sebab (causa) munculnya hukum maka causa disini adalah preparing cause (illah qobiliah). Dengan kata lain bahwa hukum bukanlah akibat (efect) dari suatu obyek hukum, akan tetapi ia adalah efect dari kehendak-Ilahi yang menjadi causa prima hukum syariat, sedang obyek hukum tidak lebih hanya sekedar sebagai sarana saja. Oleh karena hanya kehendak-Ilahi yang menjadi penyebab utama hukum syariat, dan dikarenakan fiqih berfungsi sebagai penjelas hukum maka ia harus mengikuti kehendak-Ilahi pula.

Pertentangan antara teks agama dan rasio:

Sebelum kita masuk pada pembahasan ini, terlebih dahulu kita ingatkan bahwa sudah menjadi keharusan dalam pembahasan ini untuk memisahkan antara rasio dan pemakai rasio (subyek). Dengan kata lain kita harus bedakan antara deteksi rasio dan deteksi pemakai rasio. Deteksi rasio bisa dipastikan kebenarannya sedang deteksi pemakai rasio belum tentu kebenarannya karena tergantung sampai dimana ia mampu memegang teguh kaidah-kaidah argumentasi rasional yang tertuang dalam ilmu logika.

Sebagian orang beranggapan bahwa agama bukan hanya tidak menerima rasio, bahkan mereka beranggapan bahwa agama dan rasio dua hal yang saling bertentangan dan tidak mungkin bisa ditemukan (paradoksikal). Mereka yang mengatakan hal tersebut jelas sekali menunjukkan bahwa mereka tidak mengetahui bahwa rasio yang mampu mendeteksi ajaran agama bukanlah sembarang rasio. Karena kita tahu bahwa rasio walau bisa mendeteksi beberapa persoalan agama namun iapun dalam beberapa bagian memiliki batasan-batasan yang tidak bisa dilanggar dan itupun dipahami pula oleh rasio manusia sendiri. Sehingga dari pemahaman semacam itulah akhirnya rasiopun menghukumi bahwa karena dirinya terbatas maka manusia memerlukan pembimbing lain untuk sampai pada tujuan kesempurnaan manusia.

Dikarenakan manusia ibarat musafir yang akan menuju kepada kehidupan abadi maka pembimbing yang diperlukan manusia agar dapat menghantarkannya kesana adalah yang memiliki kemampuan diatas rasio. Akal sendiri mengatakan bahwa manusia harus taat kepada pembimbing tersebut yang mampu menghantarkannya pada tujuan aslinya yaitu kehidupan abadi. Segala masalah yang berhubungan dengan keabadian merupakan masalah particular yang diluar kapasitas akal untuk memahaminya. Hukum-hukum rasional hanya berhubungan dengan hal-hak yang universal –yang terdapat ketetapan- saja sedang hal-hal particular –yang selalu berubah- diluar batas kemampuannya. Oleh karenanya akal mengatakan bahwa pada hal-hal particular inilah manusia perlu bimbingan wahyu (syariat) yang dibawa oleh manusia maksum (suci) dimana hal itulah yang akan membimbing umat manusia dalam kehidupannya agar sampai pada tujuan aslinya yaitu kenikmatan abadi. Disini akal tahu bahwa itu semua diluar kapasitasnya sehingga ia sendiri tidak akan campur tangan –juga karena mustahil mampu- dalam urusan tersebut. Akal memahami bahwa manusia memiliki tujuan abadi dan kematian bukanlah akhir segalanya sehingga ada sesuatu dibalik kematian.

Disisi lain akal mengakui kelemahannya dalam mengamati bagaimana tata-cara menjangkau kehidupan abadi dan apa saja dibalik kematian. Akibat dari pemahaman dan pengakuan akal diatas tadi maka seakan akal mengatakan bahwa “aku perlu seorang pembimbing yang mampu memberi masukan tentang hal-hal yang diluar kemampuanku, pembimbing itu adalah manusia sempurna yang mendapat wahyu dari Allah”. Lantas dari sini apakah mungkin bagi akal yang telah mengatakan itu semua kemudian disisi lain akal menyerukan bertentangan dengan pembimbing tersebut? Akal anda pasti bisa merenungkan atas jawaban pertanyaan itu.

Sebagian orang berusaha mengakal-akali beberapa hukum syariat dan berusaha merasionalkannya. Jelas oknum-oknum semacam ini telah melakukan kezaliman, Mereka telah memperkosa akal untuk memenuhi hasrat “nafsu ilmiah” mereka, padahal akal telah mengumumkan ketidakmampuannya, bagaimana ia akan memaksa akal untuk melakukan sesuatu yang diluar kapasitas akal ? Lagi pula terdapat fallacy (mughalathoh) pada diri oknum-oknum tersebut dalam masalah membedakan antara akal (rasio) dan wahm (imajinasi). Karena mereka tidak bisa membedakan kedua hal tersebutlah akhirnya mereka terjerumus pada kesalahan dalam menentukan kebenaran, dan hal tersebut berakhir pada kesalahan dalam memberikan konklusi. Salah satu bentuk kesalahan tersebut ialah mereka beranggapan bahwa antara akal dan agama saling terjadi paradoks. Padahal jika mereka tidak terjerumus pada fallacy maka mereka tidak akan mempunyai kesimpulan semacam itu pada hubungan akal dan agama.

Dari sini jelas sekali bahwa untuk memahami ajaran agama akal/rasio merupakan sarana yang sudah menjadi keharusan tapi hal tersebut bukan berarti bahwa akal tadi adalah satu-satunya sarana. Karena ajaran agama mencakup segala hal yang bersifat representatif (ilmu hushuli) –termasuk di dalamnya hal-hal empirikal- dan yang bersifat persentif (ilmu hudzuri), sedang akal hanya memiliki kapasitas pada ilmu empiric saja. Maka, yang berkaitan dengan ilmu presentif diluar kemampuan akal (suprarasional) sehingga akal tidak mampu untuk memberi bimbingan pada disiplin ilmu tersebut. Tentu bukan berarti akal sama sekali tidak mampu. Tetapi jika setelah diadakan beberapa proses penyederhanaan maka akal akan mampu mendeteksi ilmu presentif tersebut. Hanya dengan melalui proses penarikan ilmu presentif kepada konsep umum yang universal niscaya akal mampu memahaminya dan memberikan argumen rasional.

Sebagaimana yang telah singgung diatas tadi bahwa akal/rasio hanya mampu mendeteksi hal-hal universal saja. Dikarenakan syariat ajaran Islam banyak berkaitan dengan hal-hal particular maka hal itu diluar kapasitas akal sehingga dari situ manusia memerlukan wahyu –yang bersumber dari alam ghaib sebagai pembimbingnya. Oleh karena itu jelas akal/rasio tidak akan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti; kenapa sholat subuh hanya dua rakaat saja? Kenapa puasa dimulai dari terbitnya fajar sampai tenggelamnya matahari? Kenapa hukum waris wanita dan lelaki dibedakan? Kenapa hanya muka dan telapak tangan wanita yang hanya boleh diperlihatkan?…dst. Jika yang ditanyakan adalah berkaitan dengan penyebab dalam arti causa maka itu diluar kapasitas akal/rasio manusia untuk mendeteksinya, tapi jika yang ditanyakan adalah penyebab dalam arti hikmah dibalik itu maka kita bisa mencari-cari hikmah yang ada, dalam pembahasan yang sudah lalu sudah kita singgung perbedaan antara penyebab yang berarti “causa” dengan yang berarti “hikmah”.

Sebagian mereka juga menyatakan bahwa ajaran-ajaran agama perlu diimani, dan yang berkaitan dengan iman –karena berkaitan dengan hal-hal yang particular dan sesuai dengan selera masing-masing- tidak bisa dipantau dengan argumen rasional. Dalam menjawab problem tersebut bisa kita katakan bahwa; memang benar bahwa iman berkaitan dengan hal-hal obyektif dan yang bersifat particular, akan tetapi dikarenakan semua hal obyektif dan particular merupakan ekstensi dari konsep universal maka melalui konsep universal itulah kita dapat merasionalkan keimanan tersebut. Para nabi dalam menyebarkan keimanan mereka menggunakan argumen maka jika iman tidak bisa diargumenkan maka sia-sia para nabi memberikan argumen buat mereka, atau mungkinkah argumen para nabi tersebut tidak masuk akal sedang dalam Al-Quran disebutkan bahwa argumen tersebut menjadi pelajaran bagi para “ulil-albab” (baca: yang berakal).

Akan tetapi anggapan bahwa keimanan berkaitan dengan hal yang sesuai dengan selera masing-masing individu, jelas bahwa anggapan itu tidak benar karena jika benar apa yang mereka dakwakan maka hal itu bertentangan dengan kenyataan yang ada. Kalaupun pendapat itu benar maka bisa kita katakan bahwa obyek keimanan adalah suatu hal yang riil yang memiliki eksistensi obyektif (realita di luar), dan segala hal yang memilki realita luar pasti memiliki potensi untuk ditetapkan kebenarannya, baik melalui cara empirikal, inderawi, bukti historis atau secara rasional.
Dari sini terjawablah sudah problem yang dikemukan oleh kaum Brahmana yang mengatakan bahwa; muatan ajaran agama dan wahyu tidak lepas dari dua kemungkinan rasional atau irrasional. Jika ternyata ajaran tersebut bermuatan hal-hal yang irrasional maka berarti ajaran tersebut batil dan manusia tidak memerlukan ajaran yang batil. Jika ajaran tersebut rasional maka dengan berbekal rasio manusia mampu mencari sendiri ajaran-ajaran tersebut tanpa perlu lagi kepada wahyu/agama.

Pengingkaran agama dengan argumen semacam itu tentu tidak bisa begitu saja bisa diterima. Ada beberapa hal yang mereka lupakan;

1- Kehidupan tidak hanya terbatas pada kehidupan duniawi yang materi.
2- Keterbatasan akal dalam mendeteksi beberapa pengetahuan terkhusus hal-hal yang bersifat particular.
3- Adanya beberapa pengetahuan yang bersifat supra-rasional sehingga manusia memerlukan pembimbing lain yang mampu menunjukkan hal-hal tersebut, dimana hal ini –tentang pentingnya pengutusan seorang nabi/rasul- secara global rasio manusiapun telah mengetahuinya.

Kini giliran kita yang akan menanyakan kepada mereka; manusia hidup sebagai hamba yang diperintah oleh Tuhan untuk melakukan beberapa perbuatan yang sesuai dengan kehendak mutlak Tuhan sehingga bisa menghantarkan kepada kenikamatan abadi. apakah mungkin hanya berbekal rasio saja manusia akan bisa menyingkap tata cara segala perbuatan yang dikehendaki oleh Tuhan guna mencapai kebahagiaan abadi sebagaimana yang dijanjikan? Tentu jawabnya negatif bukan? Karena sebagaimana telah kita kemukakan bahwa rasio/akal hanya mengindera hal-hal universal saja yang dalam hal ini adalah “mensyukuri segala nikmat Ilahi” sedang bagaimana cara kita bersukur, hal itu diluar kapasitas akal karena bersifat particular.

Oleh karena itu dari sini kita mengetahi bahwa tugas atau hubungan wahyu/agama berkenaan degan rasio manusia adalah mencakup hal-hal sebagai berikut:

a- Wahyu melegalisir rasio; tentu pelegalisiran berlaku disaat rasio manusia memiliki kemampuan dalam mendeteksi hal yang perlu dilegalisir. Pelegalisiran ini berfungsi sebagai penekanan akan keputusan rasio, karena boleh jadi akan dipertanyakan fungsi pelegalisiran itu. Memang walaupun tanpa wahyu rasio dapat mengungkapkannya akan tetapi dalam kelanjutan pengargumentasian pengguna rasio (manusia) atas hal tersebut tidak jarang “rasio” terjerumus dalam kesalahan, oleh karenanya perlu adanya pelegalisiran tersebut. Tentu -sebagaimana yang sudah kita singgung- akal/rasio tidak mungkin salah akan tetapi apakah pengguna akal juga dijamin kebenarannya? Hal inipun sekaligus bisa sebagai jawaban atas problem yang dilontarkan kaum bhrahman.

b- Wahyu mengarahkan rasio; hal tersebut dilakukan jika ternyata rasio/akal tidak memiliki keindependenan dalam mendeteksi suatu problem. Segala hal yang bersifat supra-rasional –karena keparticularannya sehingga diluar kapasitas rasio- maka tugas wahyulah yang menjelaskan.
Yang perlu diingat di sini ialah bahwa hal supra-rasional bukan berarti irrasional, dengan penjelasan bahwa:

1- Kemustahilan –dalam arti tidak mungkin terealisasi direalita- penentangan rasio terhadap sesuatu yang diluar kapasitasnya. dikarenakan penentangan hanya berlaku pada adanya kapasitas penginderaan lantas terdapat pendapat lain yang menentang pendapat tersebut, oleh karena rasio telah mengakui bahwa hal itu diluar kapasitasnya maka penentangan mustahil terjadi sebagaimana kemustahilan penentangan anak TK atas teori matematika seorang profesor dibidangnya.

2- Ketidakmampuan akal dalam mengungkap hal-hal particular syariat dimana setelah dilakukan pengungkapan oleh wahyu akalpun diam menerimanya ataupun bahkan menguatkannya. Karena walaupun akal lemah dalam menyingkapkannya namun karena wahyu itu keluar dari Tuhan maka akalpun akan menguatkannya dengan argumen rasional yang universal sifatnya. Akal mampu menyingkap segala maslahat umum (baca:hikmah) yang tersimpan dalam ajaran syariat itu sehingga dari situlah ia bisa memberikan penguatan atas syariat dari sisi argumen.

Dari sini jelaslah bagi kita bahwa rasio dalam beberapa hal –yang sering diistilahkan dengan aksiomatika rasional (mustaqillat al-aqliah)- mampu mendeteksi dan mengargumenkan sesuatu tanpa bantuan agama. Tapi dalam beberapa hal pula –yang akal tidak mampu menggapainya- akal angkat tangan dalam masalah tersebut dan perlu bantuan wahyu/agama. Tentu wahyu/agama tidak membiarkan begitu saja rasio/akal berlari dengan bebasnya sesuai dengan keinginan hasrat dan emosional manusia, tetapi agama berfungsi sebagai pembimbing akal dengan memberi akal metodologi berfikir yang benar dalam menanggapi hal-hal yang diluar dari jangkauan dan kapasitasnya.

0 komentar:

Posting Komentar

Tulis pendapat anda disini ........