ISLAM AGAMA RASIONAL

Akal dan Fikir dalam Meningkatkan Ketakwaan

INSTAFOREX TRADING

Rabu, 02 Juni 2010

KEUTAMAAN AHLULBAIT

Diposting oleh PUTRA

Ahlul Bait Jaminan Keselamatan Dunia Akhirat 
Membantah Syubhat Salafy Nashibi


Hadis Tsaqalain adalah hadis shahih yang sangat memberatkan kaum Nashibi. Di dalam hadis tersebut terdapat keutamaan besar dan agung yang dimiliki Ahlul Bait. Hadis Tsaqalain menyebutkan kalau “Kitab Allah dan Itrah Ahlul Bait Rasul SAW” adalah pedoman bagi umat islam dan keduanya selalu bersama tidak akan berpisah sampai kembali kepada Rasul SAW di Al Haudh. Pengikut Nashibi dan sebagian orang yang terjangkiti virus nashibi merasa berat untuk menerima hadis ini. Di antara mereka bermunculan “ulama aneh” yang berusaha mendhaifkan hadis Tsaqalain dan Alhamdulillah usaha mereka gagal dan hanya menunjukkan minimnya ilmu atau niatnya yang buruk. Ketika mereka tidak sanggup membantah keshahihan hadis Tsaqalain maka mereka membuat makar baru dengan menyebarkan syubhat-syubhat yang bertujuan menolak status Ahlul Bait sebagai pedoman umat. Menurut mereka hadis Tsaqalain hanya menunjukkan perintah berpegang teguh kepada Kitab Allah SWT saja.

Sebelumnya kami telah membahas dengan panjang lebar hadis-hadis Tsaqalain yang dapat dijadikan hujjah. Seperti biasa ada pengikut salafy nashibi menanggapi tulisan kami dengan berbagai syubhat yang maaf, tidak ada nilainya sama sekali. Insya Allah kami akan meluruskan syubhat-syubhat tersebut.

Perlu diketahui bahwa hadis Tsaqalain masyhur diucapkan oleh Al Imam yang mulia Rasulullah SAW di ghadir-khum yaitu ketika Rasulullah SAW berkhutbah kepada para sahabatnya. Dimana khutbah tersebut Rasulullah SAW memegang tangan Imam Ali dan menyatakan Imam Ali sebagai Mawla bagi kaum mukminin serta menetapkan Kitab Allah dan Itrah Ahlul Bait Rasul SAW sebagai pedoman umat. Oleh karena itu sangat masuk akal untuk dikatakan kalau hadis ini diriwayatkan oleh banyak sahabat termasuk Imam Ali sendiri. Dan tentu saja Imam Ali sebagai pihak yang memiliki kisah tersebut [shahibul qishshah] adalah orang yang paling paham dan orang yang riwayatnya paling tsabit dalam perkara ini.

حَدَّثَنَا إبْرَاهِيمُ بْنُ مَرْزُوقٍ قَالَ ثنا أَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِيُّ قَالَ ثنا كَثِيرُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عُمَرَ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَلِيٍّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَضَرَ الشَّجَرَةَ بِخُمٍّ فَخَرَجَ آخِذًا بِيَدِ عَلِيٍّ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلَسْتُمْ تَشْهَدُونَ أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ رَبُّكُمْ ؟ قَالُوا بَلَى قَالَ أَلَسْتُمْ تَشْهَدُونَ أَنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أَوْلَى بِكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ وَأَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَرَسُولَهُ مَوْلَيَاكُمْ ؟ قَالُوا بَلَى قَالَ فَمَنْ كُنْت مَوْلَاهُ فَإِنَّ هَذَا مَوْلَاهُ أَوْ قَالَ فَإِنَّ عَلِيًّا مَوْلَاهُ شَكَّ ابْنُ مَرْزُوقٍ إنِّي قَدْ تَرَكْت فِيكُمْ مَا إنْ أَخَذْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا كِتَابَ اللَّهِ بِأَيْدِيكُمْ وَأَهْلَ بَيْتِي

“Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Marzuq yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu ‘Amir Al Aqadiy yang berkata telah menceritakan kepadaku Katsir bin Zaid dari Muhammad bin Umar bin Ali dari Ayahnya dari Ali bahwa Nabi SAW berteduh di Khum kemudian Beliau keluar sambil memegang tangan Ali. Beliau berkata “wahai manusia bukankah kalian bersaksi bahwa Allah azza wajalla adalah Rabb kalian?. Orang-orang berkata “benar”. Bukankah kalian bersaksi bahwa Allah dan Rasul-Nya lebih berhak atas kalian lebih dari diri kalian sendiri dan Allah azza wajalla dan Rasul-Nya adalah mawla bagi kalian?. Orang-orang berkata “benar”. Beliau SAW berkata “maka barangsiapa yang menjadikan Aku sebagai mawlanya maka dia ini juga sebagai mawlanya” atau [Rasul SAW berkata] “maka Ali sebagai mawlanya” [keraguan ini dari Ibnu Marzuq]. Sungguh telah Aku tinggalkan bagi kalian apa yang jika kalian berpegang teguh kepadanya maka kalian tidak akan tersesat yaitu Kitab Allah yang berada di tangan kalian dan Ahlul Bait-Ku” [Musykil Al Atsar Ath Thahawi 3/56]”

Selain Imam Ali hadis ini juga diriwayatkan dengan sanad yang tsabit dari Zaid bin Arqam RA. Dimana Zaid bin Arqam RA meriwayatkan hadis tersebut kepada Abu Thufail, Yazid bin Hayyan dan Muslim bin Shubaih. Berikut riwayat Muslim bin Shubaih yang kami nilai sebagai sanad yang paling shahih dari Zaid bin Arqam RA.

حَدَّثَنَا يحيى قَال حَدَّثَنَا جرير عن الحسن بن عبيد الله عن أبي الضحى عن زيد بن أرقم قَال النبي صلى الله عليه وسلم إني تارك فيكم ما إن تمسكتم به لن تضلوا كتاب الله عز وجل وعترتي أهل بيتي وإنهما لن يتفرقا حتى يردا علي الحوض

Telah menceritakan kepada kami Yahya yang berkata telah menceritakan kepada kami Jarir dari Hasan bin Ubaidillah dari Abi Dhuha dari Zaid bin Arqam yang berkata Nabi SAW bersabda “Aku tinggalkan untuk kalian yang apabila kalian berpegang-teguh kepadanya maka kalian tidak akan sesat yaitu Kitab Allah azza wa jalla dan ItrahKu Ahlul Baitku dan keduanya tidak akan berpisah hingga kembali kepadaKu di Al Haudh [Ma’rifat Wal Tarikh Al Fasawi 1/536]”
.
.
Syubhat pertama salafy untuk menolak Ahlul Bait sebagai pedoman umat islam adalah berhujjah dengan hadis Zaid bin Arqam riwayat Yazid bin Hayyan yang hanya menyebutkan lafaz berpegang teguh pada kitab Allah SWT saja dan tidak untuk Ahlul Bait.

حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَشُجَاعُ بْنُ مَخْلَدٍ جَمِيعًا عَنْ ابْنِ عُلَيَّةَ قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنِي أَبُو حَيَّانَ حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ حَيَّانَ قَالَ انْطَلَقْتُ أَنَا وَحُصَيْنُ بْنُ سَبْرَةَ وَعُمَرُ بْنُ مُسْلِمٍ إِلَى زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ فَلَمَّا جَلَسْنَا إِلَيْهِ قَالَ لَهُ حُصَيْنٌ لَقَدْ لَقِيتَ يَا زَيْدُ خَيْرًا كَثِيرًا رَأَيْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَمِعْتَ حَدِيثَهُ وَغَزَوْتَ مَعَهُ وَصَلَّيْتَ خَلْفَهُ لَقَدْ لَقِيتَ يَا زَيْدُ خَيْرًا كَثِيرًا حَدِّثْنَا يَا زَيْدُ مَا سَمِعْتَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَا ابْنَ أَخِي وَاللَّهِ لَقَدْ كَبِرَتْ سِنِّي وَقَدُمَ عَهْدِي وَنَسِيتُ بَعْضَ الَّذِي كُنْتُ أَعِي مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَا حَدَّثْتُكُمْ فَاقْبَلُوا وَمَا لَا فَلَا تُكَلِّفُونِيهِ ثُمَّ قَالَ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا فِينَا خَطِيبًا بِمَاءٍ يُدْعَى خُمًّا بَيْنَ مَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَوَعَظَ وَذَكَّرَ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ أَلَا أَيُّهَا النَّاسُ فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ يُوشِكُ أَنْ يَأْتِيَ رَسُولُ رَبِّي فَأُجِيبَ وَأَنَا تَارِكٌ فِيكُمْ ثَقَلَيْنِ أَوَّلُهُمَا كِتَابُ اللَّهِ فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ فَخُذُوا بِكِتَابِ اللَّهِ وَاسْتَمْسِكُوا بِهِ فَحَثَّ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ وَرَغَّبَ فِيهِ ثُمَّ قَالَ وَأَهْلُ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي فَقَالَ لَهُ حُصَيْنٌ وَمَنْ أَهْلُ بَيْتِهِ يَا زَيْدُ أَلَيْسَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ قَالَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ وَلَكِنْ أَهْلُ بَيْتِهِ مَنْ حُرِمَ الصَّدَقَةَ بَعْدَهُ قَالَ وَمَنْ هُمْ قَالَ هُمْ آلُ عَلِيٍّ وَآلُ عَقِيلٍ وَآلُ جَعْفَرٍ وَآلُ عَبَّاسٍ قَالَ كُلُّ هَؤُلَاءِ حُرِمَ الصَّدَقَةَ قَالَ نَعَمْ

“Telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb dan Syuja’ bin Makhlad, keduanya dari Ibnu ‘Ulayyah : Telah berkata Zuhair : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Ibraahiim : Telah menceritakan kepadaku Abu Hayyaan : Telah menceritakan kepadaku Yaziid bin Hayyaan, ia berkata : “Aku pergi ke Zaid bin Arqam bersama Hushain bin Sabrah dan ‘Umar bin Muslim. Setelah kami duduk. Hushain berkata kepada Zaid bin Arqam : ‘Wahai Zaid, engkau telah memperoleh kebaikan yang banyak. Engkau telah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, engkau mendengar sabda beliau, engkau bertempur menyertai beliau, dan engkau telah shalat di belakang beliau. Sungguh, engkau telah memperoleh kebaikan yang banyak wahai Zaid. Oleh karena itu, sampaikanlah kepada kami – wahai Zaid – apa yang engkau dengan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam’. Zaid bin Arqam berkata : ‘Wahai keponakanku, demi Allah, aku ini sudah tua dan ajalku sudah semakin dekat. Aku sudah lupa sebagian dari apa yang aku dengar dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang bisa aku sampaikan kepadamu, maka terimalah dan apa yang tidak bisa aku sampaikan kepadamu janganlah engkau memaksaku untuk menyampaikannya’. Kemudian Zaid bin Arqam mengatakan : ‘Pada suatu hari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdiri berkhutbah di suatu tempat perairan yang bernama Khumm yang terletak antara Makkah dan Madinah. Beliau memuji Allah, kemudian menyampaikan nasihat dan peringatan, lalu beliau bersabda : ‘Amma ba’d. Ketahuilah wahai saudara-saudara sekalian bahwa aku adalah manusia seperti kalian. Sebentar lagi utusan Rabb-ku [yaitu malaikat pencabut nyawa] akan datang lalu dia diperkenankan. Aku akan meninggalkan kepada kalian Ats-Tsaqalain [dua hal yang berat], yaitu Kitabullah yang padanya berisi petunjuk dan cahaya, karena itu ambillah ia (yaitu melaksanakan kandungannya) dan berpegang teguhlah kalian kepadanya’. Beliau menghimbau/mendorong pengamalan Kitabullah. Kemudian beliau berkata “dan ahlul-baitku. Aku ingatkan kalian akan Allah terhadap ahlu-baitku’ [beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali]. Hushain bertanya kepada Zaid bin Arqam : ‘Wahai Zaid, siapakah ahlul-bait Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ? Bukankah istri-istri beliau adalah ahlul-baitnya ?’. Zaid bin Arqam menjawab : ‘Istri-istri beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memang ahlul-baitnya. Namun ahlul-bait beliau adalah orang-orang yang diharamkan menerima zakat sepeninggal beliau’. Hushain berkata : ‘Siapakah mereka itu ?’. Zaid menjawab : ‘Mereka adalah keluarga ‘Ali, keluarga ‘Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga ‘Abbas’. Hushain berkata : ‘Apakah mereka semua itu diharamkan menerima zakat ?’. Zaid menjawab : ‘Ya’. [Shahih Muslin no 2408]

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَكَّارِ بْنِ الرَّيَّانِ حَدَّثَنَا حَسَّانُ يَعْنِي ابْنَ إِبْرَاهِيمَ عَنْ سَعِيدٍ وَهُوَ ابْنُ مَسْرُوقٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ حَيَّانَ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ قَالَ دَخَلْنَا عَلَيْهِ فَقُلْنَا لَهُ لَقَدْ رَأَيْتَ خَيْرًا لَقَدْ صَاحَبْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَلَّيْتَ خَلْفَهُ وَسَاقَ الْحَدِيثَ بِنَحْوِ حَدِيثِ أَبِي حَيَّانَ غَيْرَ أَنَّهُ قَالَ أَلَا وَإِنِّي تَارِكٌ فِيكُمْ ثَقَلَيْنِ أَحَدُهُمَا كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ هُوَ حَبْلُ اللَّهِ مَنْ اتَّبَعَهُ كَانَ عَلَى الْهُدَى وَمَنْ تَرَكَهُ كَانَ عَلَى ضَلَالَةٍ وَفِيهِ فَقُلْنَا مَنْ أَهْلُ بَيْتِهِ نِسَاؤُهُ قَالَ لَا وَايْمُ اللَّهِ إِنَّ الْمَرْأَةَ تَكُونُ مَعَ الرَّجُلِ الْعَصْرَ مِنْ الدَّهْرِ ثُمَّ يُطَلِّقُهَا فَتَرْجِعُ إِلَى أَبِيهَا وَقَوْمِهَا أَهْلُ بَيْتِهِ أَصْلُهُ وَعَصَبَتُهُ الَّذِينَ حُرِمُوا الصَّدَقَةَ بَعْدَهُ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bakkaar bin Ar-Rayyaan : Telah menceritakan kepada kami Hassaan [yaitu Ibnu Ibraahiim], dari Sa’iid [yaitu Ibnu Masruuq], dari Yaziid bin Hayyaan dari Zaid bin Arqam. Dia [Yaziid] berkata “Kami menemui Zaid bin Arqam, lalu kami katakan kepadanya ‘Sungguh kamu telah memiliki banyak kebaikan. Kamu telah bertemu dengan Rasulullah, shalat di belakang beliau dan seterusnya sebagaimana hadits Abu Hayyaan. Hanya saja dia berkata: Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda ‘Ketahuilah sesungguhnya aku telah meninggalkan untuk kalian dua perkara yang sangat besar. Salah satunya adalah Al Qur’an, barang siapa yang mengikuti petunjuknya maka dia akan mendapat petunjuk. Dan barang siapa yang meninggalkannya maka dia akan tersesat.’ Juga di dalamnya disebutkan perkataan : Lalu kami bertanya “Siapakah ahlu baitnya, bukankah istri-istri beliau?”. Dia menjawab “Bukan, demi Allah. Sesungguhnya seorang istri bisa saja dia setiap saat bersama suaminya. Tapi kemudian bisa saja ditalaknya hingga akhirnya dia kembali kepada bapaknya dan kaumnya. Yang dimaksud dengan ahlul-bait beliau adalah, keturunan dan keluarga beliau yang diharamkan bagi mereka untuk menerima zakat” [Shahih Muslim no. 2408].

Kami pribadi tidak menolak hadis Shahih Muslim di atas, yang kami tolak adalah hujjah salafy dengan hadis ini yang menolak status Ahlul Bait sebagai pedoman umat islam. Perlu diperhatikan telah tsabit baik dari Imam Ali AS maupun dari Zaid bin Arqam RA lafaz “berpegang teguh kepada Kitab Allah dan Ahlul Bait”. Oleh karena itu riwayat Shahih Muslim tersebut tidak bisa dipandang bersendiri dan dijadikan hujjah untuk menyimpangkan makna hadis Tsaqalain yang lain. Janganlah diantara pembaca tertipu dengan perkataan “hadits yang mempunyai latar belakang kisah itu lebih kuat penunjukkan hukumnya daripada yang tidak” karena kisah yang dimaksud dalam hadis Zaid bin Arqam [yang dicetak biru] tidaklah jauh berbeda dengan kisah yang terdapat dalam hadis Ali bin Abi Thalib bahkan riwayat Imam Ali lebih kuat dikarenakan hadis Ghadir-khum tersebut ditujukan kepadanya dan diucapkan Nabi SAW saat Beliau SAW memegang tangannya.

Siapapun yang jeli pasti akan melihat bahwa hadis Zaid bin Arqam di atas masih memerlukan penjelasan dari hadis Tsaqalain yang lain. Perhatikanlah baik-baik dalam matan hadis Shahih Muslim di atas disebutkan Rasulullah SAW meninggalkan Ats Tsaqalain yaitu Kitab Allah dimana pesan Rasulullah SAW adalah agar umat islam berpegang teguh kepadanya agar tidak tersesat [hal yang tidak pernah kami tolak bahkan kami benarkan dan sangat sesuai dengan hadis Tsaqalain yang lain]

Ahlul Bait dimana Rasulullah SAW berkata “Aku ingatkan kalian akan Allah terhadap ahlu-baitku”. Disini Rasulullah SAW mengingatkan para sahabat tentang Ahlul Bait.

Tentu saja pesan Rasulullah SAW soal Kitab Allah dalam hadis Shahih Muslim di atas sangat jelas hanya saja pesan peringatan Rasulullah SAW tentang Ahlul Bait masih memerlukan penjelasan yaitu Apa tepatnya peringatan tersebut. Disini kita bisa melihat bahwa hadis Shahih Muslim di atas masih memerlukan penjelasan dari hadis Tsaqalain yang lain dan ternyata di hadis Imam Ali dan hadis Zaid bin Arqam [riwayat Abu Dhuha] Rasulullah SAW menegaskan agar para sahabat berpegang teguh pada Kitab Allah dan Itrah Ahlul Bait Rasul SAW. Jadi peringatan yang dimaksud tidak lain agar para sahabat juga berpegang teguh kepada Ahlul Bait. Sehingga dapat dimengerti dalam hal ini mengapa peringatan tentang Ahlul Bait tidak dirincikan dengan jelas [dalam hadis Shahih muslim di atas] karena ia terikat dengan penjelasan sebelumnya terhadap Kitab Allah yaitu berpegang teguh. Apalagi di dalam hadis Tsaqalain yang lain disebutkan kalau Kitab Allah dan Itrah Ahlul Bait Rasul SAW tidak akan pernah terpisah [selalu bersama] sampai kembali ke Al Haudh. Hal yang menunjukkan bahwa berpegang teguh kepada Kitab Allah SWT juga diiringi berpegang teguh kepada Itrah Ahlul Bait Rasul SAW. Perlu diketahui bahwa lafaz

وَأَهْلُ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي

“dan ahlul-baitku. Aku ingatkan kalian akan Allah terhadap ahlu-baitku”.

Hanya diriwayatkan oleh Yazid bin Hayyan dan kredibilitasnya tidak diketahui dari ulama-ulama terdahulu sebelum Muslim. Tautsiq yang diberikan ulama terhadapnya hanya berasal dari Nasa’i dan Ibnu Hibban. Abu Hatim dan Bukhari menulis keterangan tentangnya tetapi tidak menetapkan adanya jarh maupun ta’dil. Kami tidak bermaksud untuk mendhaifkan atau mencacatkan Yazid bin Hayyan tetapi hanya sekedar menunjukkan bahwa hadis ini tidaklah seperti yang dikatakan oleh sebagian orang merupakan “hadis tershahih” dan jika para pembaca jeli, riwayat Yazid bin Hayyan mengundang pertanyaan. Lafal kedua hadis di atas menyebutkan kalau Yazid bin Hayyan bersama Husain bin Sabrah dan Umar bin Muslim datang kepada Zaid bin Arqam kemudian Beliau meriwayatkan hadis Tsaqalain, setelah itu Yazid dan sahabatnya bertanya “Wahai Zaid, siapakah ahlul-bait Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam? Bukankah istri-istri beliau adalah ahlul-baitnya?” Nah disini Zaid bin Arqam memberikan dua jawaban [dari kedua riwayat Shahih Muslim]

Riwayat Yazid bin Hayyan yang pertama menyebutkan jawaban Zaid bin Arqam “Istri-istri beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memang ahlul-baitnya”

Riwayat Yazid bin Hayyan yang kedua menyebutkan jawaban Zaid bin Arqam “Bukan, demi Allah. Sesungguhnya seorang istri bisa saja dia setiap saat bersama suaminya. Tapi kemudian bisa saja ditalaknya hingga akhirnya dia kembali kepada bapaknya dan kaumnya.”

Terdapat sedikit perbedaan lafaz tetapi memiliki arti penting. Riwayat pertama Zaid menyebutkan kalau Istri Nabi adalah ahlul bait tetapi riwayat kedua Zaid bersumpah istri Nabi bukan ahlul bait. Bukankah hadis ini berasal dari orang yang satu yaitu Zaid bin Arqam, waktu yang satu dan tempat yang satu dan diriwayatkan kepada perawi yang sama [Yazid bin Hayyan dan sahabatnya], kalau begitu mengapa terdapat perbedaan lafaz yang cukup signifikan. Seandainya tidak ada riwayat pertama dan orang-orang hanya tahu riwayat kedua maka sudah jelas menurut Zaid bin Arqam istri Nabi bukan termasuk ahlul bait. Apakah mungkin kedua lafaz yang bertolak belakang itu adalah berasal dari Zaid bin Arqam RA, sehingga lafaz lengkapnya berbunyi Istri-istri beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memang ahlul-baitnya. Bukan, demi Allah.

Sesungguhnya seorang istri bisa saja dia setiap saat bersama suaminya. Tapi kemudian bisa saja ditalaknya hingga akhirnya dia kembali kepada bapaknya dan kaumnya.
Tentu saja jawaban dengan kalimat seperti ini terkesan aneh sekali. Atau perbedaan lafaz itu berasal dari kesalahan perawinya dengan kata lain hafalan perawi yang bermasalah. Kalau begitu siapa yang bermasalah? Dan lafal hadis mana yang bermasalah?. Yang tampak bagi kami adalah jika perbedaan lafaz tersebut bukan berasal dari Zaid bin Arqam maka kemungkinan besar berasal dari Yazid bin Hayyan, dia bisa saja seorang yang tsiqat menurut Nasa’i [yang dugaan kami hanya bertaklid bahwa Muslim meriwayatkan di dalam Shahih-nya] tetapi tidak menutup kemungkinan ada sedikit cacat pada dhabit-nya [hafalannya].

Penjelasan kami di bagian ini hanya ingin menunjukkan bahwa hadis Tsaqalain dalam Shahih Muslim ini tidak bisa berdiri sendiri, ia tetap memerlukan penjelasan dari hadis Tsaqalain lain terutama pada lafaz “dan ahlul baitku, aku ingatkan kalian akan Allah terhadap Ahlul Baitku”. Yang aneh bin ajaib ada orang yang sok berasa paling mengerti lafaz hadis, dengan asalnya ia berkata menafsirkan lafaz ini
Dari riwayat ini sangat jelas diketahui bahwa perintah untuk berpegang teguh ditujukan kepada Kitabullah. Adapun kepada Ahlul-Bait, beliau mengingatkan umatnya untuk memenuhi hak-haknya (sebagaimana diatur dalam syari’at).
Adakah dalam lafaz hadis “dan ahlul baitku, aku ingatkan kalian akan Allah terhadap Ahlul Baitku” penunjukkan perintah “untuk memenuhi hak-hak ahlul bait”?. Dari mana datangnya kesimpulan ini?. Kenapa tidak bisa dikatakan peringatan itu adalah “Beliau mengingatkan umatnya untuk berpegang teguh kepada Ahlul Bait”. Kalau salafy nashibi itu bisa berkata “tidak ada perintah berpegang teguh kepada Ahlul Bait dalam hadis Tsaqalain Shahih Muslim” maka kami-pun dapat berkata “tidak ada perintah untuk memenuhi hak-hak ahlul bait di dalam lafaz hadis Shahih Muslim di atas”. Di lain tempat orang tersebut berkata Hadits ats-tsaqalain memberikan penjelasan tentang kewajiban untuk mencintai, menghormati, memuliakan, dan menunaikan hak-hak Ahlul-Bait sepeninggal beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam
Silakan pembaca perhatikan kembali lafaz dalam Shahih Muslim [yang diulang sampai tiga kali] “dan ahlul baitku, aku ingatkan kalian akan Allah terhadap Ahlul Baitku”. Apakah dari lafaz ini terdapat penunjukkan perintah “untuk mencintai, menghormati, memuliakan, dan menunaikan hak-hak Ahlul-Bait”. Kalau salafy nashibi itu bisa berkata “tidak ada perintah berpegang teguh kepada Ahlul Bait dalam hadis Tsaqalain” maka kamipun bisa berkata “tidak ada perintah untuk mencintai, menghormati, memuliakan, dan menunaikan hak-hak Ahlul-Bait dalam lafaz hadis Shahih Muslim di atas”. Sungguh aneh sekali jika ada yang mengatakan kalau hadis Yazid bin Hayyan memiliki dilalah hukum yang jelas. Terkait dengan ahlul bait maka lafaz yang ada adalah “dan ahlul baitku, aku ingatkan kalian akan Allah terhadap Ahlul Baitku”. Memangnya dari lafaz ini dilalah hukum apa yang bisa ditarik?.

Sekali lagi kami tekankan makna yang jelas tentang Ahlul Bait [dilalah hukumnya jelas] dalam hadis Tsaqalain terdapat pada hadis Tsaqalain yang lain diantaranya hadis Imam Ali dan Hadis Zaid bin Arqam [riwayat Abu Dhuha]. Sehingga lafaz “dan ahlul baitku, aku ingatkan kalian akan Allah terhadap Ahlul Baitku” dapat diartikan peringatan agar umat berpegang teguh kepada Ahlul Bait, inilah peringatan yang dimaksud dalam Shahih Muslim.
.
.
.
Kami tidak menafikan bahwa terdapat hadis shahih yang hanya menyebutkan “Berpegang teguh kepada Kitab Allah” tanpa tambahan Ahlul Bait. Tetapi juga tidak dapat dinafikan bahwa terdapat hadis shahih yang menyebutkan “berpegang teguh kepada Kitab Allah dan Itrah Ahlul Bait Rasul SAW”. Hadis ini shahih dan meragukan sanadnya hanyalah usaha ngawur yang sia-sia. Sehingga yang diambil adalah hadis kedua karena makna dalam hadis pertama sudah tercakup di dalamnya. Yah salafy nashibi tahu persis akan hal ini sehingga ia menyebarkan syubhat baru [setidaknya itu tidak baru bagi kami] yang lebih dikenal di kalangan kami sebagai “syubhat anak kecil yang baru belajar bicara”. Syubhat yang kami maksud adalah pembahasannya seputar lafaz “bihii” dan “bihiima” Perhatikan kata yang di-bold merah. Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam memakai kata : bihi (به – “dengannya”), dimana ini merujuk pada satu hal saja, yaitu Kitabullah. Keterangan ini sesuai dengan hadits sebelumnya. Seandainya perintah tersebut mencakup dua hal (Kitabullah dan Ahlul-Bait) tentu ia memakai kata bihimaa (بهما – “dengan keduanya”), sebagaimana lafadh riwayat

تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما : كتاب الله وسنة نبيه

“Telah aku tinggalkan pada kalian dua perkara yang jika kalian berpegang dengan keduanya, tidak akan tersesat : Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya”.

Hadits ‘Kitabullah wa sunnatii’ ini adalah dla’iif dengan seluruh jalannya. Di sini saya hanya ingin menunjukkan contoh penerapan dalam kalimat saja. Perintah berpegang teguh dan jaminan tidak akan tersesat dalam riwayat di atas dipahami merujuk pada Kitabullah dan Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, karena menggunakan bihimaa (بهما – “dengan keduanya”). Ini adalah konsekeunsi logis dari kalimat itu sendiri.

Syubhat ini mungkin akan diaminkan oleh orang yang tidak bisa berbahasa arab tetapi bagi mereka yang mengerti maka nyata sekali kalau yang melontarkan syubhat ini benar-benar seperti anak kecil yang baru belajar bicara. Perlu diketahui bahwa baik hadis Tsaqalain maupun hadis Kitabullah wa sunnatii memuat kedua lafaz bihi dan bihima. Bihi yang berarti “dengannya” dan bihimaa yang berarti “dengan keduanya”.

تَرَكْت فِيكُمْ مَا إنْ أَخَذْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا كِتَابَ اللَّهِ بِأَيْدِيكُمْ وَأَهْلَ بَيْتِي

Sungguh telah Aku tinggalkan bagi kalian apa yang jika kalian berpegang teguh kepadanya maka kalian tidak akan tersesat yaitu Kitab Allah yang berada di tangan kalian dan Ahlul Bait-Ku

إني تارك فيكم ما إن تمسكتم به لن تضلوا كتاب الله عز وجل وعترتي أهل بيتي وإنهما لن يتفرقا حتى يردا علي الحوض

Aku tinggalkan untuk kalian apa yang jika kalian berpegang-teguh dengannya maka kalian tidak akan sesat yaitu Kitab Allah azza wa jalla dan ItrahKu Ahlul Baitku dan keduanya tidak akan berpisah hingga kembali kepadaKu di Al Haudh

تارك فيكم أمرين لن تضلوا إن اتبعتموهما وهما كتاب الله وأهل بيتي عترتي

Aku tinggalkan kepadamu dua hal atau perkara, yang apabila kamu mengikuti keduanya maka kamu tidak akan tersesat yaitu Kitab Allah dan Ahlul BaitKu, ItrahKu

تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما : كتاب الله وسنة نبيه

“Telah aku tinggalkan pada kalian dua perkara yang jika kalian berpegang dengan keduanya, tidak akan tersesat : Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya”.

Pada hadis dengan lafaz “bihi [dengannya]” sifat peninggalan Rasulullah SAW dijelaskan terlebih dahulu yaitu yang jika berpegang dengannya tidak akan sesat baru kemudian Beliau menyebutkan kalau jumlahnya ada dua yaitu Kitab Allah dan Ahlul Bait. Jadi disini sifat berpegang teguh itu berlaku pada masing-masing yang disebutkan Nabi SAW yaitu Kitab Allah dan Ahlul Bait. Sedangkan pada lafaz “bihiima [dengan keduanya]” disebutkan terlebih dahulu kalau jumlah peninggalan tersebut ada dua [perhatikan kata dua perkara] baru kemudian disebutkan sifatnya yaitu harus dipegang teguh keduanya. Tentu karena dari awal telah disebutkan ada dua hal maka penjelasan sifat yang dimaksud juga menggunakan kata ganti “dengan keduanya”. Jadi baik hadis dengan lafaz bihi dan lafaz bihima memiliki konsekuensi yang sama. Bukti penggunaan lafaz yang seperti ini juga ditemukan dalam hadis Kitabullah wa sunnati [hadis kitabullah wa sunnati adalah hadis yang dhaif jiddan dengan keseluruhan jalannya bukannya dhaif saja seperti yang dikatakan oleh salafy tersebut]

يا أيها الناس إني قد تركت فيكم ما إن اعتصمتم به فلن تضلوا أبدا كتاب الله وسنة نبيه

Wahai manusia, sungguh telah kutinggalkan bagi kalian apa yang jika kalian berpegang teguh dengannya maka tidak kalian tidak akan tersesat setelahnya yaitu Kitab Allah dan Sunnah Nabinya [Mustadrak Al Hakim no 318]

عن أنس بن مالك قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لقد تركت فيكم ما إن أخذتم به لن تضلوا كتاب الله وسنة نبيه

Dari Anas bin Malik yang berkata Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda “sungguh Aku tinggalkan untuk kalian apa yang jika kalian berpegang teguh dengannya maka kalian tidak akan sesat yaitu Kitab Allah dan Sunnah Nabinya [Thabaqat Al Muhaddisin no 549]

Jadi pada hadis dengan lafaz “bihi” sifat berpegang teguh dengannya berlaku untuk masing-masing peninggalan tersebut karena dari awal Rasul SAW menjelaskan bahwa Beliau akan meninggalkan sesuatu yang jika berpegang kepada sesuatu tersebut maka tidak akan sesat. Nah sesuatu itu yang disebutkan Rasul SAW adalah Kitab Allah dan Itrah Ahlul Bait Rasul SAW. Ditambah lagi Rasulullah SAW menyebutkan kalau keduanya selalu bersama tidak akan berpisah sampai kembali ke Al Haudh.

Kami yakin tidak ada satupun ulama yang fasih berbahasa arab mempermasalahkan lafaz “bihi” dan “bihima” karena maaf saja terkesan konyol sekali kalau hujjah seperti ini dilontarkan oleh orang yang bertaraf ulama. Bahkan banyak ulama yang menjadikan hadis dengan lafaz “bihi” sebagai dalil untuk berpegang teguh kepada Sunnah Nabi diantaranya Al Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib atau Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib Wat Tarhib memuat bab “anjuran berpegang teguh kepada Kitab Allah dan Sunnah Nabi”. Di dalam bab itu terdapat hadis “kitabullah wa sunnati” dengan lafaz “bihi” yaitu hadis Ibnu Abbas riwayat Al Hakim [Shahih At Targhib Wat Tarhib no 40]
As Suyuthi dalam Miftah Al Jannah menjadikan hadis “kitabullah wa sunnati” dengan lafaz “bihi” sebagai dalil untuk berpegang teguh kepada Sunnah Nabi SAW [Miftah Al Jannah fi Ihtijaj bil Sunnah hal 7]

Tetapi dengan cara-cara berdalil yang seperti ini kita dapat melihat kualitas mereka yang mengidap “sesuatu di hatinya” yang selalu mencari-cari dalih penolakan walaupun dalih tersebut terkesan konyol bin naïf.
.
Syubhat salafy nashibi yang lain adalah menunjukkan kekeliruan-kekeliruan Imam Ali [dalam persepsinya tentu] sehingga dengan ini ia menginginkan bahwa Ahlul Bait tidak dijadikan pedoman umat islam agar tidak sesat karena terbukti juga melakukan kekeliruan. Tanggapan kami cukup sederhana, kekeliruan-kekeliruan yang ia nisbatkan kepada Imam Ali sebelum diucapkan hadis Tsaqalain jelas tidak menjadi hujjah baginya karena jelas pada masa Nabi SAW, Nabi SAW memberikan pengajaran dan ilmu kepada Ahlul Bait sehingga pada akhirnya Rasul SAW menetapkan Ahlul Bait sebagai pedoman umat. Mengenai kekeliruan yang ia nisbatkan kepada Imam Ali sepeninggal Nabi SAW yaitu Imam Ali pernah membakar kaum murtad maka kami katakan hal itu tidaklah tsabit.

عن عكرمة : أن عليا رضي الله عنه حرق قوما، فبلغ ابن عباس فقال: لو كنت أنا لم أحرقهم، لأن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (لا تعذبوا بعذاب الله). ولقتلتهم، كما قال النبي صلى الله عليه وسلم: (من بدل دينة فاقتلوه).

Dari ‘Ikrimah : Bahwasannya ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu pernah membakar satu kaum. Sampailah berita itu kepada Ibnu ‘Abbas, lalu ia berkata “Seandainya itu terjadi padaku, niscaya aku tidak akan membakar mereka, karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda ‘Janganlah menyiksa dengan siksaan Allah’. Dan niscaya aku juga akan bunuh mereka sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam “Barangsiapa yang menukar agamanya, maka bunuhlah ia” [Shahih Bukhari no. 3017].

Kemudian ia membawakan riwayat dalam Sunan Tirmidzi dengan tambahan lafaz “Ibnu Abbas benar”.

فبلغ ذلك عليا فقال صدق بن عباس

“Maka sampailah perkataan itu pada ‘Aliy, dan ia berkata : ‘Benarlah Ibnu ‘Abbas” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1458; shahih. Diriwayatkan pula oleh Asy-Syafi’iy 2/86-87, ‘Abdurrazzaaq no. 9413 & 18706, Al-Humaidiy no. 543, Ibnu Abi Syaibah 10/139 & 12/262 & 14/270, Ahmad 1/217 & 219 & 282, Abu Dawud no. 4351, Ibnu Maajah no. 2535, An-Nasaa’iy 7/104, Ibnul-Jaarud no. 843, Abu Ya’laa no. 2532, Ibnu Hibbaan no. 4476, dan yang lainnya].

Saudara itu melakukan hal yang aneh dalam Takhrijnya terhadap lafaz “benarlah Ibnu Abbas”. Yang saya temukan lafaz itu ada di riwayat Tirmidzi sedangkan di riwayat lain seperti Musnad Ahmad 1/217 no 1871, Musnad Ahmad 1/282 no 2552, Mushannaf Abdurrazaq 5/213 no 9413, Sunan Abu Dawud 2/530 no 4351 dan Sunan Daruquthni 3/108 no 90 semuanya dengan tambahan lafaz perkataan imam Ali “kasihan Ibnu Abbas”.

عن عكرمة أن عليا عليه السلام أحرق ناسا ارتدوا عن الإسلام فبلغ ذلك ابن عباس فقال لم أكن لأحرقهم بالنار إن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال ” لاتعذبوا بعذاب الله ” وكنت قاتلهم بقول رسول الله صلى الله عليه و سلم فإن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال ” من بدل دينه فاقتلوه ” فبلغ ذلك عليا عليه السلام فقال ويح ابن عباس

Dari ‘Ikrimah Bahwasanya ‘Aliy alaihis salam pernah membakar satu kaum yang murtad dari islam. Sampailah berita itu kepada Ibnu ‘Abbas, lalu ia berkata “tidak boleh membakar mereka, karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda ‘Janganlah menyiksa dengan siksaan Allah’. Dan seandainya itu aku maka aku akan membunuh mereka sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam “Barangsiapa yang menukar agamanya, maka bunuhlah ia”. Kemudian sampailah kepada Ali alaihis salam [perkataan Ibnu Abbas] maka ia berkata “kasihan Ibnu Abbas” [Sunan Abu Dawud 2/530 no 4351, perhatian : kata “alaihis salam” memang berasal dari kitab hadis Sunan Abu Dawud bukan tambahan dari kami]

Jika para pembaca jeli membaca hadis Ikrimah di atas maka pernyataan imam Ali membakar suatu kaum berasal dari Ikrimah. Ikrimah tidaklah menyaksikan peristiwa ini karena riwayatnya dari Ali adalah mursal seperti yang dikatakan Abu Zur’ah [Al Marasil Ibnu Abi Hatim 1/158 no 585]. Jadi Ikrimah hanya menerima kabar yang sampai kepadanya. Kemudian disampaikan kepada Ibnu Abbas dan Ibnu Abbas mengatakan bahwa apa yang dilakukan imam Ali itu tidak benar karena tidak boleh menyiksa dengan siksaan Allah SWT dan cukup dibunuh saja berdasarkan hadis Rasulullah SAW. Lantas perkataan Ibnu Abbas ini pun sampai pula kepada Imam Ali dan disebutkan kalau Imam Ali berkata “benarlah Ibnu Abbas” dan “kasihan Ibnu Abbas”.

Jika kita menerima kedua perkataan ini maka yang dimaksud oleh Imam Ali dengan “benarlah Ibnu Abbas” adalah membenarkan hadis yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dari Rasulullah SAW bahwa tidak boleh menyiksa dengan siksaan Allah SWT dan orang murtad cukup dibunuh saja karena Beliau Imam Ali juga mengetahui hadis tersebut. Dan yang dimaksud dengan perkataan “kasihan Ibnu Abbas” adalah Imam Ali mengasihani Ibnu Abbas yang terlalu mudah mempercayai apa saja yang disampaikan kepadanya. Jika Imam Ali mengetahui kebenaran hadis tersebut jelas mana mungkin Beliau melakukan perbuatan yang melanggar hadis Rasulullah SAW yang ia ketahui artinya Imam Ali tidaklah membakar kaum tersebut. Berbeda halnya dengan nashibi yang menurut anggapan mereka tidak ada masalah kalau Imam Ali mengetahui hadis Rasulullah SAW yang shahih tetapi melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hadis shahih tersebut.

Dan diriwayatkan bahwa Ammar Ad Duhni berkata kalau Imam Ali tidak membakar mereka hanya membuat lubang lalu memasukkan mereka ke dalamnya dan mengalirkan asap ke lubang tersebut kemudian membunuh mereka [Musnad Al Humaidi 1/244 no 533]. Ammar Ad Duhni adalah tabiin kufah yang otomatis menyaksikan persitiwa tersebut sehingga kesaksiannya patut diambil dan melalui penjelasannya Imam Ali tidak membakar kaum murtad yang dimaksud. Wallahu’alam

Lafaz lain yang penting dan luput dari pandangan para pengingkar adalah lafaz hadis Tsaqalain “keduanya tidak akan berpisah sampai kembali kepadaku di Al Haudh”

وإنهما لن يتفرقا حتى يردا علي الحوض

Dan keduanya tidak akan berpisah sampai kembali kepadaku di Al Haudh Lafaz ini mengandung pengertian bahwa keduanya yaitu Kitab Allah dan Ithrah Ahlul Bait Rasul SAW akan selalu bersama dan tidak akan berpisah. Itrah Ahlul Bait Rasul SAW akan selalu bersama Al Qur’an. Hal ini menunjukkan bahwa mereka akan selalu bersama kebenaran dan menjadi pedoman bagi umat islam karena mereka selalu bersama Al Qur’an sampai keduanya kembali kepada Rasulullah SAW di Al Haudh.

Janganlah seseorang terperdaya dengan perkataan bahwa hadis Abu Dhuha adalah ringkasan dari hadis Yazid bin Hayyan. Tidak diragukan kalau para perawi bisa saja menyampaikan hadis lebih ringkas dari apa yang mereka dengar tetapi seorang perawi yang tsiqat dan dhabit tidaklah merubah hadis tersebut atau apapun yang ia ringkas. Dengan kata lain ringkasan yang mereka lakukan tidaklah merubah makna hadis tersebut. Kami katakan bahwa hadis Zaid bin Arqam disampaikan kepada kedua orang yang berbeda yaitu Yazid bin Hayyan dan Abu Dhuha di waktu yang berbeda pula . Abu Dhuha adalah orang yang lebih tsiqat dan tsabit dibanding Yazid bin Hayyan sehingga apa yang disampaikan oleh Abu Dhuha adalah apa yang ia dengar dari Zaid bin Arqam, kami tidak mengetahui adanya riwayat Abu Dhuha dalam versi yang lebih panjang oleh karena itu justru lebih tepat dikatakan lafaz hadis Abu Dhuha adalah lafaz ringkas yang disampaikan oleh Zaid bin Arqam.
Jadi Perbedaannya adalah riwayat Yazid bin Hayyan, disampaikan oleh Zaid bin Arqam dengan lebih panjang dan memuat kisah di Khum sedangkan riwayat Abu Dhuha disampaikan Zaid bin Arqam dengan lebih singkat dan hanya menyebutkan inti atau hukumnya saja yaitu “berpegang teguh kepada Kitab Allah dan Itrah Ahlul Bait dan keduanya tidak akan berpisah”. Riwayat Yazid bin Hayyan tidak memiliki qarinah yang menafikan “berpegang teguh kepada Ahlul Bait” apalagi dalam riwayat Imam Ali yang juga memuat soal kisah bahkan Beliau sebagai shahibul qishshah memuat lafaz yang persis dengan lafaz hadis Abu Dhuha yaitu “berpegang teguh pada kitab Allah dan Ahlul Bait”. Jika mau dipaksakan untuk menggabungkan riwayat-riwayat yang ada [ketiga riwayat di atas] maka secara keseluruhan lafaz hadis Tsaqalain adalah sebagai berikut.

‘Pada suatu hari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdiri berkhutbah di suatu tempat perairan yang bernama Khumm yang terletak antara Makkah dan Madinah. [Beliau keluar sambil memegang tangan Ali] Beliau memuji Allah, kemudian menyampaikan nasihat dan peringatan, lalu beliau bersabda ‘Amma ba’d. Ketahuilah wahai saudara-saudara sekalian bahwa aku adalah manusia seperti kalian. Sebentar lagi utusan Rabb-ku [yaitu malaikat pencabut nyawa] akan datang lalu dia diperkenankan. Beliau berkata “wahai manusia bukankah kalian bersaksi bahwa Allah azza wajalla adalah Rabb kalian?. Orang-orang berkata “benar”. Bukankah kalian bersaksi bahwa Allah dan Rasul-Nya lebih berhak atas kalian lebih dari diri kalian sendiri dan Allah azza wajalla dan Rasul-Nya adalah mawla bagi kalian?. Orang-orang berkata “benar”. Beliau SAW berkata “maka barangsiapa yang menjadikan Aku sebagai mawlanya maka dia ini juga sebagai mawlanya”. Sungguh telah Aku tinggalkan bagi kalian yang jika kalian berpegang teguh kepadanya maka kalian tidak akan tersesat yaitu Kitab Allah yang berada di tangan kalian dan Ahlul Bait-Ku” Aku meninggalkan kepada kalian Ats-Tsaqalain [dua hal yang berat], yaitu Kitabullah yang padanya berisi petunjuk dan cahaya, karena itu ambillah ia (yaitu melaksanakan kandungannya) dan berpegang teguhlah kalian kepadanya’. Kemudian beliau berkata “dan ahlul-baitku. Aku ingatkan kalian akan Allah terhadap ahlu-baitku’. Aku ingatkan kalian akan Allah terhadap ahlu-baitku’. Aku ingatkan kalian akan Allah terhadap ahlu-baitku’. Keduanya tidak akan berpisah hingga kembali kepadaKu di Al Haudh. Maka perhatikanlah oleh kalian, apa yang kalian perbuat terhadap keduanya sepeninggalku.

Dengan lafaz di atas dapat dimengerti bahwa pada perkataan “dan ahlul-baitku. Aku ingatkan kalian akan Allah terhadap ahlu-baitku” tidak dijelaskan peringatan tersebut dengan lebih rinci karena sudah jelas pada perkataan sebelumnya “Aku tinggalkan bagi kalian yang jika kalian berpegang teguh kepadanya maka kalian tidak akan tersesat yaitu Kitab Allah yang berada di tangan kalian dan Ahlul Bait-Ku”. Berbeda halnya dengan saudara pengingkar tersebut, ia tidak memiliki petunjuk sedikitpun untuk menyokong penafsirannya kalau pesan dalam hadis Tsaqalain adalah menghormati, mencintai, memuliakan serta memenuhi hak-hak Ahlul Bait.

Sebagai umat islam kita memiliki kewajiban untuk berpegang teguh kepada Al Qur’an dan Itrah Ahlul Bait Rasul SAW, mencintai mereka, menghormati dan memuliakan serta memenuhi hak-haknya. Janganlah ada diantara kita yang terpengaruh syubhat nashibi yang menolak untuk berpegang teguh kepada Itrah Ahlul Bait Rasul SAW. Rasulullah SAW menyatakan dengan jelas bahwa Beliau meninggalkan bagi umat Kitab Allah dan Itrah Ahlul Bait yang mana yang satu lebih besar dari yang lain [yaitu kitab Allah] dimana umat islam hendaknya berpegang teguh kepada Kitab Allah dan Itrah Ahlul Bait agar tidak tersesat dan keduanya akan selalu bersama atau tidak akan berpisah sampai kembali kepada Rasul SAW di Al Haudh.
.
.Syubhat lain para pengingkar adalah perkataan bahwa Ahlul Bait dan Al Qur’an tidaklah setara karena Rasulullah SAW mengatakan telah membedakan keduanya dimana yang satu lebih besar dari yang lain. Kami katakan perkataannya benar tetapi pengingkar itu menginginkan kebathilan dari perkataan tersebut. Al Qur’an adalah Tsaqal Al Akbar karena ia adalah rujukan dan pedoman pertama bagi umat islam bahkan Itrah Ahlul Bait Rasul SAW juga berpedoman kepada Al Qur’an. Itrah Ahlul Bait Rasul adalah pribadi-pribadi yang paling mengerti dan memahami Al Qur’an, mereka tidak akan pernah meninggalkan Al Quran sepeninggal Rasul SAW oleh karena itu Rasulullah SAW menjelaskan bahwa Al Qur’an dan Itrah Ahlul Bait akan selalu bersama atau tidak pernah berpisah hingga kembali kepada Rasul SAW di Al Haudh. Itrah Ahlul Bait Rasul SAW sebagai Tsaqal Al Asghar adalah rujukan kedua bagi umat karena mereka seperti yang sudah kami sebutkan adalah yang paling mengerti dan memahami Al Qur’an dan mereka adalah yang paling mengerti dengan sunah Rasul SAW, oleh karena itulah Rasulullah SAW berwasiat dengan menyandingkan keduanya. Perkara ini termasuk sangat berat khususnya perihal Ahlul Bait sehingga Rasulullah SAW berkata “maka perhatikanlah oleh kalian, apa yang kalian perbuat terhadap keduanya sepeninggalku”.

Terakhir kami akan mengajak pembaca untuk memperhatikan atsar yang dibawakan oleh saudara pengingkar tersebut di akhir tulisannya

حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ مَعِينٍ وَصَدَقَةُ قَالَا أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ وَاقِدِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ أَبُو بَكْرٍ ارْقُبُوا مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَهْلِ بَيْتِهِ

Telah menceritakan kepadaku Yahyaa bin Ma’iin dan Shadaqah, mereka berdua berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Ja’far, dari Syu’bah, dari Waaqid bin Muhammad, dari ayahnya, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata : Telah berkata Abu Bakr : “Peliharalah hubungan dengan Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan cara menjaga hubungan baik dengan ahlul-bait beliau” [Shahih Bukhaariy no. 3751].

Mengenai matan atsar di atas, tidak ada satupun yang meragukan kalau umat islam diharuskan menjaga hubungan baik dengan Ahlul Bait karena kedudukan mereka yang tinggi dalam islam [sebagai pedoman bagi umat islam]. Tetapi aneh bin ajaib Abu Bakar sendiri dan sahabatnya Umar adalah orang yang pertama kali melakukan sesuatu yang tidak baik dengan Ahlul Bait. Telah diriwayatkan dengan kabar yang shahih bahwa Abu Bakar menolak permintaan Sayyidah Fathimah AS [penghulu wanita surga] sehingga membuat sayyidah Fathimah marah dan tidak berbicara dengan Abu Bakar selama 6 bulan. Dan telah diriwayatkan dengan kabar yang shahih bahwa Umar mengancam akan membakar rumah Ahlul Bait terkait dengan masalah kekhalifahan. Apakah perbuatan tersebut bisa dikatakan “menjaga hubungan baik dengan ahlul bait”?.
Walaupun begitu kami tidak punya kepentingan untuk mencela atau mencaci Abu Bakar RA dan Umar RA. Bagi kami cukuplah tauladan yang diberikan Ahlul Bait jika salah katakan salah jika benar katakan benar dan jika tidak senang maka diam dan bersabar itu lebih baik. Semoga jawaban kami ini bermanfaat bagi umat islam khususnya para pecinta Ahlul Bait dan insya Allah kami akan terus berusaha menjadi hamba Allah yang membela keutamaan Ahlul Bait semampu kami. Tidak ada yang kami harapkan dari ini kecuali Allah SWT mengampuni kami dan memberikan petunjuk kepada kami agar kami berada di atas jalan yang lurus.

Sumber :
secondprince.wordpress.com


4 komentar:

Anonim mengatakan...

pendapat saya,banyak keganjilan, banyak kitab para ulama ahlussunnah yang redaksinya sangat berbeda dengan tulisanmu,perhatikan "Yang saya temukan lafaz itu ada di riwayat Tirmidzi sedangkan di riwayat lain seperti Musnad Ahmad 1/217 no 1871, Musnad Ahmad 1/282 no 2552, Mushannaf Abdurrazaq 5/213 no 9413, Sunan Abu Dawud 2/530 no 4351 dan Sunan Daruquthni 3/108 no 90 semuanya dengan tambahan lafaz perkataan imam Ali “kasihan Ibnu Abbas”." dan lafadz alahi salam, kami berusaha mengeceknya tidak kami temukan, boleh beritahukan kitab itu terbitan apa? atau dari negara mana asalnya diterbitkan kitab para ulama dengan redaksi seperti itu??

elfan mengatakan...

AHLUL BAIT, CELAH ANTARA SUNNI DAN SYIAH

Dlm Al Quran yang menyebut 'ahlulbait', rasanya ada 3 (tiga) ayat dan 3 surat.

1. QS. 11:73: Para Malaikat itu berkata: "Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait. Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah".

Ayat ini jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya, maka makna 'ahlulbait' adalah terdiri dari isteri dari Nabi Ibrahim.

2. QS. 28:12: Dan Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusukan(nya) sebelum itu; maka berkatalah Saudara Musa: 'Maukahkamu aku tunjukkan kepadamu 'ahlulbait' yang akan memeliharanya untukmu, dan mereka dapat berlaku baik kepadanya?

Ayat ini jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya, maka makna 'ahlulbait' adalah meliputi Ibu kandung Nabi Musa As. atau ya Saudara kandung Nabi Musa As.

3. QS. 33:33: "...Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu 'ahlulbait' dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya".

Ayat ini jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya QS. 33: 28, 30 dan 32, maka makna para ahlulbait adalah para isteri Nabi Muhammad SAW.

Sedangkan ditinjau dari sesudah ayat 33 yakni QS. 33:34, 37 dan 40 maka penggambaran ahlulbaitnya mencakup keluarga besar Nabi Muhammad SAW. para isteri dan anak-anak beliau.

Jika kita kaitkan dengan makna ketiga ayat di atas dan bukan hanya QS. 33:33, maka lingkup ahlul bait tersebut sifatnya menjadi universal terdiri dari:

1. Kedua orang tua Saidina Muhammad SAW, sayangnya kedua orang tua beliau ini disaat Saidina Muhammad SAW diangkat sbg 'nabi' sudah meninggal terlebih dahulu.

2. Saudara kandung Saidina Muhammad SAW, tapi sayangnya saudara kandung beliau ini, tak ada karena beliau 'anak tunggal' dari Bapak Abdullah dengan Ibu Aminah.

3. Isteri-isteri beliau.

4. Anak-anak beliau baik perempuan maupun laki-laki. Khusus anak lelaki beliau, sayangnya tak ada yang hidup sampai anaknya dewasa, sehingga anak lelakinya tak meninggalkan keturunan.

Seandainya ada anak lelaki beliau yang berkeluarga, dan ada anak lelaki pula, wah masalah pewaris tahta 'ahlul bait' akan semakin seru dan hebat.

Mungkin inilah salah satu mukjizat atau hikmah, mengapa Saidina Nabi Muhammad SAW tak diberi oleh Allah SWT anak lelaki sampai dewasa dan berketurunan?. Pasti, perebutan waris tahta ahlul baitnya akan semakin dahsyat.

Bagaimana tentang pewaris tahta 'ahlul bait' dari Bunda Fatimah?. Ya jika merujuk pada QS. 33:4-5, jelas bahwa Islam tidaklah mengambil garis nasab dari perempuan kecuali bagi Nabi Isa Al Masih yakni bin Maryam. Lalu, apakah anak-anak Bunda Fatimah dengan Saidina Ali boleh kita nasabkan kepada nasabnya Bunda Fatimah, ya jika merujuk pada Al Quran tidak bisalah.

Kalaupun kita paksakan, bahwa anak Bunda Fatimah juga ahlul bait, karena kita mau mengambil garis dari perempuannya (Bunda Fatimah), maka ya seharusnya pemegang waris tahta ahlul bait diambil dari anak perempuannya seperti Zainab, bukan Hasan dan Husein sbg penerima warisnya.

Jadi sistim nasab yang diterapkan itu tidan sistim nasab berzigzag, setelah nasab perempuan lalu lari kembali ke nasab laki-laki.

Bagaimana Saidina Ali bin Abi Thalib, anak paman Saidina Muhammad SAW, ya jika merujuk pada ayat-ayat ahlul bait pastilah beliau bukan termasuk kelompok ahlul bait. Jadi, anak Saidina Ali bin Abi Thalib baik anak lelakinya mapun perempuan, otomatis tidaklah dapat mewarisi tahta 'ahlul bait'.

Kesimpulan dari tulisan di atas, maka pewaris tahta 'ahlul bait' yang terakhir hanya tinggal bunda Fatimah. Berarti anaknya Saidina Hasan dan Husein bukanlah pewaris tahta AHLUL BAIT.

Ya jika Saidina Hasan dan Husein saja bukan Ahlul Bait, pastilah anak-anaknya dan keturunan berikutnya otomatis bukan pewaris Ahlul Bait, mereka murni adalah bernasab pada Saidina Ali bin Abi Thalib.

elfan mengatakan...

Inilah mukjizat Allah SWT pada Nabi kita Muhammad SAW, nasab beliau diputuskan supaya tidsak ada yang mengklaim ‘mereka’ adalah keturunan dari Saidina Muhammad SAW, yang lebih dikenal dengan sebutan 'keturunan nabi atau keturunan rasul'. Jadi jika merujuk pada QS. 33:4-5 jelas bahwa nasab itu hanya diambil dari pihak laki-laki bukan perempuan.

Apabila dikaitkan dengan kajian kita tentang ahlul bait, dengan beberapa surat dan ayat-ayat Al Quran, otomatis mahkota ‘ahlul bait’ dari keluarga Saidina Muhammad SAW itu terputus sampai Bunda Fatimah saja. Artinya anak-anak dari Saidina Ali bin Abi Thalib, otomatis hanya bernasab pada Saidina Ali bin Abi Thalib sehingga tidak mewarisi tahta ‘ahlul bait’.

Apa hikmahnya semua skenario Allah SWT di atas, baik kelompok Syiah maupun habaib yang sama-sama mengaku keturunan ‘ahlul bait’ tidak perlu bertengkar lagi karena mahkota ‘ahlul bait’ yang diperebutkannya itu memang ‘sudah’ tak ada lagi.

Oleh karena itu, wahai umat Islam, wahai umat Muhammad SAW, tak perlu memperebutkan dinasti ‘keturunan’-nya, karena di sinilah letak keadilan Allah SWT Yang Maha Adil, besok dihadapan Allah SWT kita akan mempertanggungjawabkan diri kita masing-masing, tak ada pilih kasih, ooo itu keturunan ini, oo itu keturunan itu dsb

Dialog Sunni Syiah mengatakan...

banyak dalil yg menyatakan bahwa isteri2 nabi bukanlah ahlulbait yg dimaksud di hadis,.. so...

Posting Komentar

Tulis pendapat anda disini ........